BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 19 September 2013

MAKALAH ULUMUL QUR’AN I Tentang MUNASABAH AL-QUR’AN



MAKALAH ULUMUL QUR’AN I Tentang MUNASABAH AL-QUR’AN
Oleh : Witry Yulia

STAI LUBUK SIKAPING


KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah seru sekian alam. Shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Rasulullah Rahmat bagi alam semesta, para sahabat, keluarga dan umatnya.
Makalah ini berjudul Munasabah Al-qur’an. Di dalamnya disajikan dari bab I sampai bab III. Bab I yaitu pendahuluan di dalamnya latar belakang, mengambarkan secara umum makalah ini dan tujuan adalah menjelaskan keinginan yang akan dicapai dalam penulisan makalah ini. Untuk Bab II yaitu membahas tentang Munasabah Al-qur’an secara detail, untuk kesimpulan pada makalah ini disajikan pada Bab III yaitu menyimpulkan isi dari makalah ini dan menjawab tujuan.
Makalah Munasabah Al-qur’an ini semoga bermamfaat, terutama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.


Lubuk Sikaping, 20 Maret 2012


Penulis,

                       

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Beberapa ahli berbeda dalam mengartikan munasabah namun intinya adalah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
Dalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah, yaitu:
1. Munanbah antar surat dengan surat sebelumnya. As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya.
2.  Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya. Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan surat Al-Jinn.
3. Munasabah antar bagian suatu ayat. Munasabah antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan) seperti terlihat dalam surat Al-Hadid ayat 4
4. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya rnenggunakan pola ta'kid (penguat), tafsir (penjelas), itiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).
5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa.
6. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat. Macam munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat.
7. Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama.
 8. Munasbah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan dan Abu Ja'far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabahnya, mengatakan, "Tertib ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa dipersilisihkan kaum muslimin." As-suyuthi memastikan hal itu, katanya, "Ijma' dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi." Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda kepada mereka, "Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu. Susunan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.
Para ulama bersepakat bahwa Al Quran ini mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya.

B.     Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian dan macam-macam munasabah Al-qur’an
2.      Mengetahui Tertib ayat dan surat
3.      Mengetahui urgensi mempelajari munasabah Al-qur’an.



BAB II
MUNASABAH AL-QUR’AN

A.  Pengertian Munasabah
Kata munasabah secara etimologi, menurut As-Suyuthi bearti Al-  musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Az-Zarkaysi memberi contoh sebagai berikut : fulan yunabsi fulan, bearti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Istilah munasabah digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas dan bearti Al-wasf Al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah di ungkapkan juga dengan kata rabth (pertalian).
Menurut perngertian terminologi, munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut :
1.             Menurut Az-Zarkasyi :
Artinya : Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2.             Menurut Manna’ Al-Qathhthan :
Artinya : Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam sau ayat  atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-qur’an).
3.             Menurut Ibn Al-‘Arabi :
Artinya : Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakn ilmu yang sangat agung.
4.             Menurut Al-Biqa’i :
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagiab Al-qur’an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
Jadi munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.

B.  Macam-Macam Munasabah
Dalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah, yaitu:
1. Munanbah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya. sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulilah. ungkapan ini berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186:
Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. ( QS. Al-Baqarah ayat 152).
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah ayat 186).
Ungkapan " rabb al-alamin" dalam surat Al- Fatihah berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 21-22:
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah ayat 21)
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah ayat 22).
Di dalam surat Al-Baqarah ditegaskan ungkapan "dzalik Al-kitab la raiba fih". Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Ali ‘lmran ayat 3:
Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali 'lmran : 3)

Demikian pula, apa yang oleh surat Al-Baqarah diungkapkan secara global, yaitu ungkapan wa ma unzila min qablik, dirinci lebih jauh oleh surat Ali 'lmran ayat 3:
Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali 'lmran : 3).
Berkaitan dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr Abu Zaid. la menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat Al-Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan. Sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercermin dalam kenyataan bahwa surat Al-Fatihah diakhiri dengan doa: lhdina Ashshirath Al-mustaqim, shirath Al-ladzina an'amta alaihim ghair Al-maghdhubi'alaihim wa la adh-dhallin. Doa ini mendapatkan jawabannya dalam permulaan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu la raiba fihi hudan li Al-muttaqin. Atas dasar ini, kita menyimpulkan bahwa teks tersebut berkesinambungan: "Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang Engkau minta itu adalah Al-Kitabin"
Jika kaitan antara surat Al-Fatihah dan suratAl-Baqarah merupakan kaitan stilistika, hubungan antara surat Al-Baqarah dengan surat Ali' lmran lebih mirip dengan hubungan antara "dalil" dengan "keraguan-keraguan akan dalil". Maksudnya, surat Al-Baqarah merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara Surat Ali lmran "sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh”. Kaitan antara surat Al-Baqarah dan surat Ali 'lmran merupakan kaitan yang didasarkan pada semacam ta'wil (interpretasi) yang membatasi kandungan Surat Ali'lmran pada ayat ketujuh saja.

2. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan surat Al-Jinn. Lihatlah firman Allah surat Al-Baqarah : 67-71:
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".  Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu, Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."  Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (QS. Al-Baqarah : 67-71).
Cerita tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas merupakan inti pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.
3.    Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan) seperti terlihat dalam surat Al-Hadid ayat 4:
Artinya : Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia bersemayam di atas arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid ayat 4).
Antara kala "yaliju(masuk) dengan kata "yakhruju (keluar), serta kata "yanzilu (turun) dengan kata"ya'ruju(naik) terdapat korelasi pertawanan. Contoh lainnya adalah kata"Al-'adzab' dan Ar-rahmah" dan janji baik setelah  ancaman. Munasabah seperti ini dapat dijumpai dalam suratAl-Baqarah, An-Nisa dan surat Al-Mai'dah.
4.    Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya rnenggunakan pola ta'kid (penguat), tafsir (penjelas), itiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan). Munasabah antar ayat yang menggunaan pola ta'kid yaitu apabila salah satu ayal atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh firman Allah:
Artinya : Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-Fatihah : 1-2).
Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh firman Allah :
Artinya : Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. (Qs. Al-Baqarah : 2-3).
Makna "muttaqin" pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demiklan, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-halyang gaib, mengerjakan shalat, dan selerusnya.
Munasabah antara ayat menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contohnya firman Allah pada surat An-Nahl ayat 57:
Artinya : Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). (QS. An-Nahl  ayat 57).
Kala "subhanahu" pada ayat di atas merupakan bentuk i'tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah. Adapun munasabah antar ayat menggunakan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya. Contohnya firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:
Artinya : Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 6-7).
Ungkapan “Ash-shirath Al-mustaqim"pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan “Shirathalladzina...”. Antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang tidak diperkuat olehnya (tidak langsung).
Munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qara'in ma'nawiyyah (hubungan makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah: At-tanzir (perbandingan), Al-mudhadat (perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan At-takhallush (perpindahan).
Munasabah yang berpolakan At-tanzir rerlihat pada adanya perbandingan antara ayat-ayat yang berdampingan. Contohnya firman Allah pada surat Al-Anfal ayat 4-5:
Artinya : Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. (QS. Al-Anfal: 4-5).
Pada ayat kelima, Allah memerintrahkan kepada RasulNya agar terus melaksanakan perintah-Nya meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Sementara, pada ayat keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari rumah untuk berperang. Munasabah antarkedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan Rasul dan ketidaksukaan mereka untuk berperang. Padahal, sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan lslam.
Munasabah yang berpolakan Al-mudhadaf terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu ayat makna yang lain yang berdampingan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 6, misalnya, terdapat ungkapan:
Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. Al-Baqarah : 6).
Ayat ini bebicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak-watak orang mukmin.
Munasabah yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu ayat. Misalnya dalam surat Al-A’raaf ayat 26 diungkapkan:
Artinya : Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-A’raaf ayat 26).
Ayat ini, menurut Az-Zamakhsyari, datang setelah pembicaraan tentang terbukanya aurat Adam-Hawa dan menutupnya dengan daun. Hubungan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia Allah, telanjang dan terbuka aurat merupakan suatu perbuatan yang hina, dan menutupnya merupakan bagian yang besardari takwa.
Selanjutya, pola muhasabah takhallush terlihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud tertentu secara halus. Misalnya, dalam surat Al-Araf, mula-mula Allah berbicaara tentang para Nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan para pengikutya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.
5.    Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
6.    Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Macam munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnnya, dalam surat Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:
Artinya : Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab : 25).
Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan, bukan karena lemah, melainkan karenaAllah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya fashilah diantara kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lain dari fashilah, adalah memberi penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenamya, makna ayat sudah jelas. Misalnya dalam surat An-Naml ayat 80:
Artinya : Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (Tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka Telah berpaling membelakang. (QS. An-Naml ayat 80).
Kalimat “idza wallau mudbirin" merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.
7.    Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Tentang munasabah semacam ini, As-suyuthi telah mengarang sebuah buku yang berjudul Marasid Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqati ‘wa Al-Mathali’. Contoh munasabah ini terdapat dalam surat Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam berhadapan dengan kekejaman Firaun. Atas perintah dan pertolonganAllah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
8.     Munasbah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan surat Al-Hadid dimulai dengan tasbih:
Artinya : Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hadid Ayat 1).
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya. Al-Waqiah yang memerintahkan bertasbih:
Artinya : Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar (QS. AL-Waqiah Ayat 96).
Kemudian, permulaan surat Al-Baqarah:
Artinya : Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah ayat 1-2).
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat Al-Fatihah
Artinya : (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 7).

C.  Tertib Ayat Dan Surat

Tertib Ayat
Al-Qur'an terdiri atas surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Adapun ayat, ia adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat Al-Qur'an. sedangkan surat adalah sejumlah ayat Al-Qur'an yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Penempatan secara tertib urutan ayat-ayat Al-Qur'an ini adalah bersifat tauqifi, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan dan Abu Ja'far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabah-nya, mengatakan, "Tertib ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa dipersilisihkan kaum muslimin." As-suyuthi memastikan hal itu, katanya, "Ijma' dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi." Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda kepada mereka, "Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu. Susunan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.
Utsman bin Abi Al-'Ash berkata, "Aku tengah duduk di samping Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya; Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surat ini, 'Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta bersedekah kepada kaum kerabat." (An-Nahl: 90)
Ketika pengumpulan Al-Qur'an, Utsman selalu berada di tempat setiap kali suatu ayat atau surat akan diletakkan di dalam mushaf, sekalipun ayat itu telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan, penulisan ayat dengan tertib seperti itu adalah tauqifi.
Kata Ibnu Az-Zubair,'Aku mengatakan kepada Utsman bahwa ayat; 'Dan orang orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri istri...'(Al-Baqarah: 234) telah dimansukh oleh ayat yang lain. Tetapi, mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan? Ia menjawab, "wahai putra saudaraku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya'.
Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surat-surat tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika susunannya dapat diubah, tentulah ayat ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda'dalam hadits marfu'. "Barang siapa yang hafal sepuluh ayat dari awal surat Al-Kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.
Juga terdapat hadits-hadits lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya. Umar berkata, "Aku tidak menanyakan kepada Nabi tentang sesuatu lebih banyak dari yang aku tanyakan kepada beliau tentang kalalah (orang yang meninggal, tetapi tidak mempunyai anak dan orang tua), sampai Nabi menekankan jarinya ke dadaku dan mengatakan,'Tidak cukupkah bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat di akhir surat An-Nisaa?.
Disamping itu, banyak juga riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca sejumlah surat dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau dalam Khutbah Jum'at, seperti surat Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisaa'. Juga diriwayatkan secara shahih, bahwa Rasulullah membaca surat Al-A'raf dalam shalat maghrib. Beliau juga membaca surat AIif Lam Mim Tanzil (As-Sajdah) dan Hal ata'alal insan (Ad-Dahr) dalam shalat subuh di hari Jum'at. Beliau pun membaca surat Qaf pada waktu khutbah; surat Al-Jumu'ah dan surat Al-Munafiqun dalam shalat Jum'at.
Jibril senantiasa mengujikan Al-Qur'an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah setiap tahun sekali pada bulan Ramadhan, dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur'an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. Para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.

Tertib Surat
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur'an yang ada sekarang.
1.        Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikian, Al-Qulan pada masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma' atas susunan surat yang ada, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Kelompok ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surat secara tertib di dalam shalatnya. Ibnu Abi syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat mufashshal (surat-surat pendek) dalam satu rakaat. Al-Bukhari meriwayatkan dari lbnu Mas'ud katanya, "Surat Bani Israil, Al-Kahfi, Maryam, Thaha dan Al-Anbiya' termasuk yang diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari.' Kemudian ia menyebutkan surat-surat itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Juga Ibnu Wahab meriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata Aku mendengar Rabi'ah ditanya orang, "Mengapa surat Al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan, padahal sebelum surat itu diturunkan sudah ada delapan puluh sekian surat Makiyyah, sedang keduanya diturunkan di Madinah?" Ia menjawab, "Kedua surat itu memang didahulukan dan Al-Qur'an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya." Kemudian katanya, "Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.
Ibnul Hashshar mengatakan, "Tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya masing-masing itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan, "Letakkanlah ayat ini di tempat ini." Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma' para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.
2.        Kelompok kedua berpedapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Igra', kemudian Al-Muddatstsir, lalu Nun, Al- Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makkiyah dan Madaniyah.
Adapun dalam mushaf Ibnu Mas'ud, yang pertama ditulis adalah surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisaa', lalu disusul AIi Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay, yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqarah, An-Nisaa', lalu Ali Imran.
Ibnu Abbas menceritakan, "Aku bertanya kepada Utsman, apakah yang mendorongmu mengambil Al-Anfal yang termasuk kategori surat al-matsani dan Bara'ah yang termasuk mi'in untuk anda gabungkan menjadi satu tanpa anda tuliskan bisrnillahir rahmanir rahim di antara keduanya, anda juga meletakkannya pada as-sab'u ath-thiwal (tujuh surat panjang)? Utsman menjawab; Telah turun kepada Rasulullah surat-surat yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu, lalu menginstruksikan, 'Letakkanlah ayat ini pada surat yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu. Surat Al-Anfal termasuk surat pertama yang turun di Madinah sedang surat Bara'ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surat Al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat Bara'ah, sehingga aku mengira surat Bara'ah adalah bagian dari surat Al-Anfal. Tetapi nyatanya sampai Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam wafat tidak pernah menjelaskan kepada kami bahwa surat Bara'ah merupakan bagian dari surat Al-Anfal. Oleh karena itu, kedua surat tersebut aku gabungkan dan di antara keduanya tidak aku tuliskan bismitlahir rahmanir rahim. Aku juga meletakkannya pada as -sab'u ath-thiwal.
3.        Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa Nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab'u ath-thiwal, aI-hawamim dan al-mufashshal pada masa hidup Rasulullah.
Menurut Ibnu Hajar, "Tertib sebagian surat-surat atau bahkan sebagian besarnya tidak dapat ditolak, bersifat tauqifi. Untuk mendukung pendapatnya ini ia mengemukakan hadits Hudzaifah Ats-Tsaqafi yang mengatakan, "Rasulullah berkata kepada kami; 'Telah datang kepadaku waktu untuk hizb (bagian) dari Al-Qur'an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah, "Bagaimana kalian membuat pembagian Qu'ran?" Mereka menjawab; Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian al-mufashshal dari Qaf sampai kami khatam.
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut, "Hal ini menunjukkan, bahwa tertib surat-surat seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surat pada masa Rasulullah." Dan katanya, "Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufashshal, bukan yang lain. Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebahagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Al-Qur'an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Ustman Al-Qur'an dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surat- auratnya pada satu dialek, umat pun sepakat, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.
Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi; dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi.Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti yang selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu, yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tertib surat-surat itu bersifat tauqifi, seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar bin Al-Anbari menyebutkan, "Allah telah menurunkan Al-Qur'an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian Ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surat turun karena ada suatu masalah yang terjadi, ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya. Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi dimana surat dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surat-surat, seperti halnya susunan ayat-ayat dan huruf-huruf Al-Qur'nn seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barangsiapa mendahulukan sesuatu surat atau mengakhirkannya, berarti ia telah merusak tatanan Al-Qur'an.
Kata Al-Kirmani dalamAl-Burhan, 'Tertib surart seperti kita kenal sekarang ini sudah menjadi ketentuan Allah dalam Lauh Mahfuzh.. Menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun. Demikian juga pada akhir hayatnya beliau membacakan di hadapan Jibril, menurut tertib ini sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah, “Dan peliharalah dirimu pada hari di mana waktu itu kamu semua akan dikembalikan kepada Allah.' (Al-Baqarah: 281) Lalu Jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini di antara ayat riba dan ayat tentang utang piutang.
As-suyuthi mendukung pendapat Al-Baihaqi yang mengatakan “Surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur'an pada masa Nabi, telah tersusun menurut tertib ini kecuali Al-Anfal dan Bara'ah, sesuai dengan hadits Utsman.

D.  Urgensi mempelajari munasabah Al-Qur’an
Para ulama bersepakat bahwa Al Quran ini, yang dilurunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada asbab An-Nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah. Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Dapat rnengembangkan bagian anggapan orang bahwa terna-tema Al-Quran kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 189:
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Al-Baqarah ayat 189).
Orang yang membaca ayat tersebut tentu akan bertanya-tanya: Apakah korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-Zarkasy menjelaskan:
“sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyan tentang hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan”
2.    Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.    Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Quran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.    Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.







BAB III
KESIMPULAN


Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
Macam-macam munasabah yaitu munasabah antar surat dengan surat sebelumnya, munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya, munasabah antar bagian suatu ayat, munasabah antar ayat yang terletak berdampingan, munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya, munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat, munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama, munasabah antar penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Urgensi mempelajari munasabah Al-quran yaitu dapat mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-quran kehilangan relevansi antara satu bagian dengan bagian yang lainnya, mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian alkuran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya.







DAFTAR PUSTAKA


Anwar R, 2007. Ulum Al-qur’an. Pustaka Setia. Bandung
El-Masni A.R,. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.


0 komentar: