BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 19 September 2013

NASIONALISME, ETNISITAS, DAN AGAMA DI ASIA TENGGARA



NASIONALISME, ETNISITAS, DAN AGAMA DI ASIA TENGGARA
Oleh : Witry Yulia
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI-YDI)
LUBUK SIKAPING
           
Nasionalisme kini memang tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam perkembangan historis. Ia tidak lagi menjadi program politik global sebagaimana pernah terjadi pada abab XIX dan XX. Namun, ini tidak berarti bahwa nasionalisme tidak begitu terkemuka dalam politik dunia sekarang ini, atau sudah sangat kurang dibandingkan masa sebelumnya. Nasionalisme dapat menjadi satu faktor yang rumit atau katalis bagi perkembangan lain.
            Namun penting dicatat, pada saat Habsbawm menulis karyanya tadi, Uni Soviet sedang Ambruk, mendorong munculnya gerakan-gerakan nasionalisme yang amat kuat. Pada saat yang sama, negara-negara di Timur Tengah juga mengalami gejolak nasionalisme yang lebih hebat di bandingkan masa-masa sebelumnya. Pada saat yang sama jumlah negara-negara baru yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) terus bertambah sebagai akibat kristalisasi nasionalisme.
Semua gejala ini menjelaskan bahwa nasionalisme sedang mengalami kebangkitan kembali, khususnya di kalangan masyarakat yang berada dalam transisi ke arah kebudayaan industrial.
Kesimpulannya, nasionalisme tetap bergelora di banyak bagian Dunia Ketiga dan Eropa Timur. Dalam segi-segi tertentu dapat diprediksikan bahwa kekuatan gelombangnya hampir sama dengan kebangkitan nasionalisme pada abad ke 19. Proses globalisasi yang begitu cepat belakangan ini memang kelihatan cendrung melenyapkan batas-batas nasionalisme, namun pada saat yang sama, ia juga mendorong peningkatan nasionalisme yang diekspresikan dalam berbagai cara dan medium.

NASIONALISME DAN MODERNISASI
            Modernisasi dan industrialisasi kelihatannya merupakan salah satu faktor yang penting yang bertanggung jawab menyurutkan nasionalisme di Asia Tenggara. Namun bertolak belakang dengan argumen Fukuyama, ideologi modersasi dan developmentalisme, secara de facto menggantikan nasionalisme yang menjadi ideologi dominan di kawasan ini sebelum tahun 70-an. Kebutuhan dan pertimbangan-pertimbangan pragmatis untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang direncanakan, memaksa negara-negara Asia Tenggara mengorbankan sentimen nasionalisme.
            Mekipun demikian nasionalisme tidak sepenuhnya berakhir di Asia Tenggara. Bahkan dengan modernisasi dan developmentalisme, kita melihat terjadinya transisi atau pergeseran bentuk-bentuk nasionalisme. Nasionalisme politis kecuali dalam bentuk kedaulatan dan keutuhan wilayah semakin menyurut.
            Ditengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi, yang berlansung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas, mengakibatkan negara-negara di Asia Tenggara harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk produk-produk industri ekonomi, khususnya di negara-negara maju. Disinilah nasionalisme ekonomi negara-negara Asia Tenggara berhadapan dengan proteksionisme negara maju, khususnya Amerika dan Eropa.
             Dipihak lain, globalisasi informasi dan budaya yang dikendalikan negara maju  semakin dirasakan mengancam budaya negara-negara Asia Tenggara.

TIGA FASE NASIONALISME
            Konsep nasinalisme di Asia Tenggara bukanlah sesuatu yang baku. Ia merupakan konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil dialetika, baik dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun perubahan-perubahan pada tingkat global. Setidaknya ada tiga tahap perkembangan nasionalisme di Asia Tenggara. 
            Tahan pertama pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan nasionalisme. Fase ini ditandai penyerapan gagasan nasionalisme yang selanjutnya di ikuti pembentukan organisasi-organisasi yang disebut benda dan McVey sebagai protonasionalisme. Kemunculan dan pertumbuhan protonasionalisme dalam banyak hal merupakan konsekuensi dari perubahan-perubahan cepat dan berdampak luas yang berlansung di Asia Tenggara. Dalam periode ini, baik kolonial Inggris di Semenanjung Malaya maupun Belanda di Indonesia memperkenalkan politik etis yang antara lain, menghasilkan ekspansi pendidikan bagi pribumi. Dalam bidang ekonomi, kebijaksanaa liberal mendorong pertumbuhan sektor ekonomi modern, yang menpunyai dampak meluas terhadap ekonomi tradisional.
            Semua perubahan cepat ini menimbulkan disrupsi dalam keseimbangan tatanan masyarakat tradisional, antara lainm mengakibatkan terjadinya kemerosotan kepemimpinan tradisional  dan melonggarkan ikatan komunal dan etnis. Namun Anomali atau malaisme semacam ini dikalangan masyarakat, tidak sepenuhnya negatif. Keadaan ini justru mendorong munculnya kesadaran baru tentang dunia yang tengah berubah, dengan tantangan baru yang membutuhkan respon baru pula.
            Tema sentral yang sama di kembangkan pada fase protonasionalisme  adalah penciptaan dan penggalangan semangat nasionalitas vis a vis penjajah. Represi dan koersi yang dilakukan pemerintah kolonial mengakibatkan dimensi politis nasionalisme dalam fase ini tidak bisa mekar secara sempurna. Karena itulah yang lebih menonjol dalam pertumbuhan nasionalisme adalah penggalangan dimensi sosial dan kultural. Bahkan organisasi-organisasi protonasionalisme yang muncul dan berkembang lebih bersifat kultural, sosial, pendidikan dan ekonomi ketimbang politis.
            Perkembangan yang sama juga bisa dilihat dalam pengalaman semenanjung Malaya dan Selat Malaka. Liberalisasi pendidikan, khusu dalam pembentukkan sekolah vernacular disemenanjung pada tahun 20-an dan 30-an, berhasil memunculkan kelompok inteleginsia yang lebih radikal, dengan semangat kultural dan kesetiaan etnis Melayu yang menyala-nyala.
            Masa pendudukan jepang tahun 1940-1945 merupaka periode katalis dalam mengakselerasikan pertumbuhan nasionalisme di Asia Tenggara. Pendudkan Jepang otomatis memajukan tujuan-tujuan pemerintahan kolonial eropa. Selain itu, Jepang sebagai bagian dari kebijaksanaan anti-baratnya dengan sengaja mendorong pertumbuhan nasionalisme lokal di Asia Tenggara.
            Dengan demikian, nasionalisme di Asia Tenggara segera memasuki fase kedua. Dalam fase ini nasionalisme sangat sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural. Tema pokok nasionalisme di sini adalah apa yang disebut pemimpin nasionalisme yakini memupuk keutuhan integritas negara dan bangsa yang akan segera terwujud, pembinaan nasionalisme dalam kontek ini sesuia dengan kebijakan jepang, bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme eropa.
            Sementara itu, di Indonesia pendudukan Jepang menciptakan perkembangan-perkembangan yang tidak kalah kompleknya. Golongan nasionalisme yang memegang kendali sejak pertumbuhan awal nasionalisme, dengan sengaja dielienasikan oleh Jepang. Jepang lebih memberi kesempatan dan ruang gerak kepada para pemimpin agama dan ulama. Langkah ini pada gilirannya menciptakan konflik antara kepemimpinan nasionalis dan kepemimpinan yang berakar pada sentimen keagamaan. Kepemimpinan agama pada akhirnya harus melakukan kompromi untuk meratakan jalan bagi pembentukan negara kebangsaan Indonesia, dengan menerima Pancasila sebagai ideologi nasionalisme.
            Puncak nasionalisme Indonesia tercapai pada masa Soekarno. Berkat kemampuan intelektual dan retorikanya, Presiden pertama Indonesia ini berhasil menggelorakan nasionalisme Indonesia. Bagi Soekarno nasionalisme merupakan konsep sentral untuk membangun Indonesia yang mandiri dan terhormat pencaturan internasional. Ia mengutk eksklusivisme dan chauvinisme nasionalisme Eropa, yang justru menciptakan eksploitasi terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika. Bagi soekarno, nasionalisme harus berdasrkan rasa cinta kepada seluruh manusia.
            Fase ketiga nasionalisme, tidak hanya di Indonesia tetapi juga dalam kontek regional Asia Tenggara, bahkan dalam hubungannya dalm Dunia Internasional lebih luas.

NASIONALISME, ETNISITAS DAN AGAMA
            Kebangkitan nasionalisme kultural seperti yang di singgung di atas, dalam sejumlah kasus, tumbuh berbarengan dengan peningkatan sentimen etnisitas, bahkan sentimen keagamaan yang pada gilirannya memunculkan nasionalisme politik yang amat kental. Seperti diungkapkan Nodia, nasionalisme ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah politik dan sisi lain adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik, tetapi subtansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tibuhnya dalam etnisitas. Semua ini terlihat jelas melalui  latar belakang kemunculan negara-negara di bekas Uni Soviet, Yugoslavia dll. Nasionalisme yang muncul merupakan perpaduan sentimen etnisitas dan politik yang kemudian beramalgamsi dengan semangat keagamaan. Hasil dari perpaduan ini adalah nasionalisme yang sangat chauvinisme dan fascis.
            Teori tentang tribalisme baru sesungguhnya tiak terlalu baru. Konsep tentang tribalisme baru ini pertama kali dikembangkan oleh Greely dan Novak dengan sebutan new ethnicity. Keduanya berargumen, sejak tahun 70-an di Amerika Serikat terjadi semacam kebangkitan minat dan kesadaran etnisitas, sehingga sebutan Amerika sebagai melting pot semakin kehilangan maknanya. Namun, berbeda dengan tribalisme baru kontenporer yang disebut Naisbitt, Novak melihat adanya dua elemen dasar etnisitas atau tribalisme baru yaitu sensitivitas terhadap pluralisme etnik yang dipadukan dengan sikap respek terhadap perbedaaan kultural antara antar berbagai kelompok etnis, dan pengujian secara sadar terhadap warisan kultural kelompok etnis sendiri.
            Sejauh mana relevansi teori Naisbitt atau Greely dan Novak dengan pengalam Asia Tenggara? Kawasan ini tentu saja memiliki potensi etnisitas atau tribalisme yang luar biasa besarnya. Namun harus diingat bahwa kebangkitan tribalisme baru yang relatif modern seperti terjadi di Amerika Serikat atau tribalisme baru primitif dibekas Yogoslavia mempunyai kontek sosial dan historis tertentu, yang dalam banyak segi berbeda dengan  Asia Tenggara.
            Pengalaman historis Asia Tenggara dengan nasionalisme, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat komplek. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pengalam historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh keberadaan Asia Tenggara yang sangat pluralistik, baik secara etnis maupun agama. Peta etnografi Asia Tenggara sangat komplek, antara lain sebagai hasil dari tipografi kawasan ini, Asia Tenggara dihunin kelompok-kolompok etnis etnis dalam jumlah besar, selain mempunyai kesamaan-kesamaan fisik-biologis, juga memiliki perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup substansial.
            Meskipun demikian dalam pertumbuhan nasionalisme di Asia Tenggara pada umumnya, etnisitas dapat dikatakan, tidak sempat mengalami kristalisasi menjadi dasr nasionalisme. Terdapat beberapa faktor yang menghalangi terjadinya kristalisasi sentimen etnisitas tersebut. Yang terpenting diantara faktro-faktor itu adalah agama dan kesadaran tentang pengalaman kesejarahan yang sama.
            Dalam kasus Indonesia, kemajemukan etnisitas besrta potensi divisif dan konflik dengan segera dijinakkan oleh faktor islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk islam menjadi supra identity dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan demikian kedatangan dan perkembangan islam di Indonesia tidak hanya menyatukan berbagai kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting yang bahkan men jadi dasar nasionalisme khususnya bahasa.
            Kesetiaan pada islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini penjajahan Belanda, engan kata lain penjajahan yang secara teologis menurut ajaran islam adalah kafir, merupakan semacam blessing in disque. Dengan kata lain penjajahan Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia pada tingkat teologis keagamaan. Di sinilah sentimen etnisitas menjadi sesuatu yang tidak relevan.
            Dengan demikian, dalam kasus Indonesia islam menjadi unsur qenuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Pada saat yang sama islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada etisitas lebih tinggi. Kenyataan ini juga terluhat muncul Serikat Islam (SI) yang merefleksikan nasionalisme keislaman keindonesiaan, sekaligus respon kebangkitan nasionalisme dikalangan masyarakat Cina Hindia Belanda baik cina keturunan maupun cina totok.
            Demikianlah pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa etnisitas tidak menjadi faktor penghambat yang signifikan dalam petumbuhan nasionalisme Indonesia. Bahkan etnisitas cendrung kehilangan relevansinya sebagai sebuah tema politik.
            Berbeda dengan pengalaman Indonesia, hubungan etnisitas, agama dan nasionalisme di Semenanjung Malaya lebih kental lagi. Bagi kaum melayu, sentimen etnisitas melekat ketet dengan agama islam dan nasionalisme. Etnis Melayu boleh dikatakan identik dengan islam. Faktor utama kenyataan ini tentu saja adalah komposisi demografis Semenanjung yaitu puk melayu bukanlah golongan mayoritas mutlak. Rasa terancam khususnya dari golongan  Cina, sebagai kelompok etnis kedua, mengakibatkan puak melayu harus berpegang lebih ketat kepada islam dan kemelayuan itu sendiri sebagai pusat kesetiaan. Bagaimanapu hubungan antara etnis melayu dengan cina dengan orientasi nasionalisme masing-masing tidak selalu mulus.Paradigma nasionalisme yang bisa diterima kedua golongan ini berada pada pijakkan yang cukup rapuh, khususnya karena belim terselesaikan secara tuntas persoalan bahasa nasional, pendidikan dan peranan setiap kelompok etnis dalam negara Malaysia.
            Pengalaman  pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme di Asia Tenggara dalam hubungan dalam etnisitas dan agama, seperti dikemukakan di atas, cukup bertolak belakang denagn padangan Fukuyama. Fukyama benar ketika menyatakan bahwa nasionalisme awal (tepatnya protonasinalisme) pada abab ke-16 di Eropa yang begitu kental dengan sntimen keagamaan, hanya hasil fanatisme keagamaan dan perang agama. Aggapan ini juga benar dalam hubungannya dengan brutalitas nasionlisme Serbia sekarang ini. Namun dalam kasus Asia Tenggara, dalam hal ini Islam di Indonesia dan Malaysia justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan ramah Islam Asia Tenggara  justru meransang, menunbuhkan, dan berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme.

0 komentar: