MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Tentang DILEMA BARU PENDIDIKAN ISLAM PASCA OTODA
Oleh : Witry Yulia
STAI-YDI LUBUK SIKAPING
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Otonomi Daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001 membawa
perubahan besar dalam pengelolaan pendidikan. Di era otonomi daerah, Pemda
bertanggung jawab atas pengelolaan sektor pendidikan di semua jenjang di luar
pendidikan tinggi (SD, SLTP, SLTA).
Dari sisi substansi, Pemda bertanggung jawab atas hampir
segala bidang yang terkait dengan sektor pendidikan (kecuali kurikulum dan
penetapan standar yang menjadi kewenangan Pusat). Studi ini bertujuan untuk:
(1) melihat perubahan yang terjadi dalam hal pola pembiayaan pendidikan setelah
diberlakukannya otonomi daerah, (2) melihat perkembangan kemampuan Pemda untuk
membiayai sektor pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya, (3) melihat
berbagai masalah yang muncul dalam pembiayaan pendidikan di era otonomi daerah,
serta (4) merumuskan serangkaian rekomendasi guna mengatasi berbagai masalah
yang muncul.
Pendidikan
umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional sudah jelas
posisinya karena pendidikan termasuk yang kewenangannya diserahkan kepada
daerah atau didesentralisasikan. Sementara itu, pendidikan agama (madrasah dan
pesantren) yang berada di bawah Departemen Agama, sampai sekarang masih banyak
diperdebatkan
Persoalannya
sekarang adalah ketika pendidikan Islam masuk dan diakui dalam perspektif
perundang-undangan pendidikan nasional, baik UU Nomor 2 Tahun1989 maupun UU
Nomor 20 Tahun 2003. Secara realitasnya pendidikan Islam yang dalam konstalasi
pendidikan di Indonesia hampir mencapai 35%, secara umum masih banyak
tertinggal, baik dari segi mutu, fasilitas sarana dan prasarana, jumlah guru
maupun pendanaan.
Akibat perlakuan yang berbeda
dan cendrung diskriminatif dari pemerintah, maka penyelenggaraan pendidikan
Islam khusus yang berstatus swasta, di mana sebagian besar menghadapi kesulitan
dan keterbatasan biaya, mengakibatkan mutu pendidikan Islam sangat rendah.
B.
Tujuan
1. Mengetahui
dilema pendidikan Islam pasca otoda dan dampaknya terhadap pendidikan Agama
Islam.
BAB II
DILEMA
BARU PENDIDIKAN ISLAM PASCA OTODA
A.
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Pemberlakuan Undang-undang
(UU No. 22 tahun 1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi
Daerah/Otda) pada tahun 2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun
2004, merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan
diberlakukannya UU tersebut menandakan dimulainya era otonomi daerah yang
memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh
komponen masyarakat setempat untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat
di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Pada tahap awal UU Pemda
itu diberlakukan, telah mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya
datang dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang sudah tidak sabar ingin
rancangan UU tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah
miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya,
otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan
perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi
daerah-daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda itu diberlakukan.
Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun
2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam beberapa
hal baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan, prasarana maupun sarana
dan sumber daya lainnya belum siap.
Pemberlakuan Otonomi
daerah dalam kondisi kesiapan yang minimal, bersamaan dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi, di tengah-tengah
suasana euphoria kebebasan (dari rezim orba), menyebabkan dinamika
penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan
masyarakat.[3]
Sistem otonomi daerah atau
otoda yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada
pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah daerah atau
pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada
di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari
pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi
khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut
hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk
mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk
dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.[4]
B.
Permasalahan dalam Pelaksanaan Otonomi Pendidikan
Pelaksanaan desentralisasi
pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan
sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial,
politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum,
efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.
Ada 6 faktor yang
menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum jelas
aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dankota. 2)
Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk
dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak
memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4) Kurangnya
perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat
dalam pengelolaan pendidikan. 5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati,
Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum
menjadi prioritas utama. 6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan
yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana,
prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya
kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam
penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi
perkembangan kemandirian masing-masing daerah.[5]
C.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Dunia Pendidikan
Otonomi pendidikan
yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang
diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah
didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan
masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus
menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Berangkat dan ide otonomi
pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam
pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu :
1.
Meningkatkan
Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas
pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut
berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara
efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan
disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai
berikut : a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap
tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan
sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam
prestasi belajar (kualitas internal); b) hasil pendidikan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik
bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional
dalam kehidupannya (learning and learning), c) hasil pendidikan sesuai
atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.
Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan
manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya.
Menurut Penelitian Simmons dan Alexander (1980) bahwa ada tiga faktor
untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan
buku bacaan serta pekerjaan rumah. Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas
bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya
kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah
daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu
peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai
top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat
mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen
sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus
memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua
dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi,
misi dan program peningkatan mutu pendidikan secara bersama-sama; salah
satu tujuan UU No.20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.
2.
Reformasi Lembaga
Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara
Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya
(expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah
dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan
diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan
lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan
diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama
pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah
yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk
mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
3.
Kemauan Pemerintah
Daerah Melakukan Perubahan
Pada era otonomi, kualitas pendidikan sangat ditentukan
oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political
will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas
bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak
memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan
mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated
dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi
pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu
kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang
pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan
visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus
diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik.
Kepala pemerintahan daerah,kotadiberikan masukan secara sistematis
dan membangun daerah.
4.
Membangun Pendidikan
Berbasis Masyarakat
Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak
merata untuk seluruhIndonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan
tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki
Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut
membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam
kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih
banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam
turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
5.
Pengaturan Kebijakan
Pendidikan antara Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat tidak diperkenankan
mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan
memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan
pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat
hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi
pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga
pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar
berjalan efektif dan efisien.[6]
D.
Permasalahan Pendidikan Islam
Pelaksanaan
otonomi daerah telah menimbulkan perubahan besar, bukan hanya dalam bidang
pemerintahan dan birokrasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan
umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional sudah jelas
posisinya karena pendidikan termasuk yang kewenangannya diserahkan kepada
daerah atau didesentralisasikan. Sementara itu, pendidikan agama (madrasah dan
pesantren) yang berada di bawah Departemen Agama, sampai sekarang masih banyak
diperdebatkan.[7]
Ada
keinginan bahwa lembaga-lembaga pendidikan agama ini juga didesentralisasikan
dalam arti pengelolaannya dibawah satu atap yaitu dinas pendidikan daerah. Dengan
berada satu atap diharapkan posisi pendidikan agama tidak lagi termarginalkan
terutama dalam aspek pembiayaan, ia akan masuk dalam anggaran pembiayan daerah
(APBD). Namun di satu sisi masih banyak yang berkeinginan agar posisi
pendidikan agama tetap di bawah Departemen Agama dengan didekonsentralisasikan
ke Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi setempat. Tentang pembiayaan
diharapkan juga mendapatkan dari APBD. Hal ini mengingat bagaimanapun lembaga
pendidikan agama juga merupakan aset daerah yang berperan besar dalam
penyelengaraan pendidikan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia, namun
dalam realitas penyelengaraannya banyak yang sangat memprihatinkan.[8]
Di
sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa peran pendidikan Islam untuk ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia sangat penting dan urgen. Oleh karena
itu, ia merupakan aset bangsa yang semertinya harus dibantu dan dipelihara.
Sayangnya, peran pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam ini sejak
awal kemerdekaan sampai sekarang sangat minim (Azyumardi Azra, 2002:8).[9]
Persoalannya
sekarang adalah ketika pendidikan Islam masuk dan diakui dalam perspektif
perundang-undangan pendidikan nasional, baik UU Nomor 2 Tahun1989 maupun UU
Nomor 20 Tahun 2003. Secara realitasnya pendidikan Islam yang dalam konstalasi
pendidikan di Indonesia hampir mencapai 35%, secara umum masih banyak
tertinggal, baik dari segi mutu, fasilitas sarana dan prasarana, jumlah guru
maupun pendanaan.[10]
Akibat
perlakuan yang berbeda dan cendrung diskriminatif dari pemerintah, maka
penyelenggaraan pendidikan Islam khusus yang berstatus swasta, di mana sebagian
besar menghadapi kesulitan dan keterbatasan biaya, mengakibatkan mutu pendidikan
Islam sangat rendah.[11]
Ketertinggalan
madrasah di banding sekolah umum menunutut semua pihak untuk menuntaskan
permasalahan ini sesegera mungkin. Pemerintah pusat diharapkan segera
mereformasikan pandangannya yang menganggap madrasah sebagai pendidikan “kelas
dua”. Sementara itu pemerintah daerah dapat mengembangkannya menjadi lembaga
pendidikan alternatif dan pengelolaan madrasah harus semakin kreatif, inovatif
dalam merebut persaingan pasar. Perubahan paradigma pendidikan dari
sentralistik ke otonomi dengan menerapkan model comunity base education dapat
dijadikan momentum oleh pemerintah daerah dalam rangka mengembangakan madrasah
sebagai pusat keunggulan.[12]
E. Reposisi
Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah
1.
Reposisi Pendidikan Madrasah
Pengembangan
madrasah yang dilakukan sejak berlakunya UU No. 2 Tahun 1989 telah menunjukkan
banyak kemajuan. Beberapa indikator telah menunjukkan keberhasilan pengembangan
madrasah dilihat dari kondisi fisik madrasah (negeri) sudah banyak yang cukup
baik dan bagus. Bahkan ada beberapa madrasah yang dijadikan model dilengkapi
dengan sara pendidikan yang mewadahi seperti pusat belajar, laboratorium,
perpustakaan. Guru-guru madrasah juga telah ditingkatkan kompetensi dan
kemampuannya melalui berbagai pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun di
luar negeri.[13]
Sejak
berlakunya UU NO. 2 Tahun 1989, pendidikan madrasah telah menjadi bagian dari
sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, visi pendidikan madrasah tentunya
sejalan dengan visi pendidikan nasional.[14]
Otonomi
pendidikan merupakan kekuatan madrasah yang juga sekaligus sebagai kelemahannya
jika tidak dibarengi dengan kepemimpinan madrasah yang visioner dan mampu
mengelola perubahan. Kelemahan lainnya adalah adanya kecendrungan resistensi
terhadap nilai-nilai lama yang mengakibatkan madrasah terlempar dari mainstream
pendidikan baik pada masa kolonial maupun pasca kemerdekaan.[15]
Kebijakan
pengembangan madrasah yang dilakukan oleh Departemen Agama selama ini
mengakomodasikan tiga kepentingan. Pertama, kebijakan itu memberi ruang tumbuh
yang wajar bagi aspirasi umat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana
untuk membina ruh atau pratik hidup Islami. Kedua, Kebijakan itu memperjelas
dan memperkokoh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas,
berpengetahuan,berkepribadian, serta produktif dan sederajat dengan sistem
sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon
tuntutan masa depan (Malik Fadjar, 1999).[16]
Perubahan
yang sangat cepat, terutama akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
telah berdampak pada dunia pendidikan madrasah. Kondisi yang demikian memang
memaksa madrsah untuk terus berbenah dan melakukan reorientasi terhadap tujuan,
metode pembelajaran, meteri pembelajaran dan sebagainya. Sebab, kalau hal
demikian tidak dilakukan, sudah dapat dipastikan lembaga pendidikan Islam akan
semakin tertinggal.[17]
Oleh
sebab itu, di era otonomi daerah dan otonomi pendidikan, reposisi kelembagaan
Islam yang dalamhal ini diwakili madrasah, ditunjukan pada berkembanganya
identitas lembaga tersebut yang pada akhirnya akan melahirkan pribadi peserta
didiknya yang mempunyai identitas kerena pembinaan madrasah dengan ciri khas
yang dimilikinya.[18]
2.
Modernisasi Pesantren
Diantara
lembaga pendidikan Islam selain madrasah yang mempunyai peran strategis dalam
konteks pendidkan nasional adalah lembaga pendidikan pesantren. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang dalam hal pengelolaannya sepenuhnya
dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat.[19]
Sejak
tahun 1970-an, pesantren terangkat dalam wacana intelektual kaum muslim di
Indonesia, bersama dengan isu pengerahan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dan isu modernisasi. Melalui sentuhan beberapa aktivis yang
kebanyakan aluminya, lembaga tradisional yang sudah berurat berakar dalam
masyarakat Indonesia tersebut mengalami proses aktualisasi, baik dalam bentuk
resistensi maupun integrasi.[20]
Upaya
pengembangan pondok pesantren dalam konteks otonomi daerah, ada dua hal yang
memerlukan perhatian secara khusus, baik yang bersifat eksternal maupun
internal. Pengembangan yang bersifat eksternal, diantaranya sebagai berikut :
a.
Tetap menjaga agar citra pesantren di
mata masyarakat sesuai harapan masyarakat.
b.
Meskipun diakui kekhusussanya,
pesantren merupakan bagian dari pendidikan nasional, dan santrinyapun merupakan
bagian integral dari masyarakat kerena mereka dipersiapkan untuk memikul
tanggung jawab dalam masyarakat.
c.
Santri-santri hendaknya dipersiapakan
untuk mampu berkompetisidalam masyarakat yang majemuk.
d.
Pesantren hendaknya terbuka terhadap
setiap perkembangan dan perubahan yang terjadi.
e.
Pesantren juga diharapkan dapat
dijadikan sebagai pusat studi (laboratorium agama).
Sementara
itu, yang bersifat internal dalam pengembangan pesantren, perlu dilakukan
hal-hal sebagai berikut:
a.
Kurikulum pesantren hendak dirancang
sedemikian rupa untuk memenuhi kebtuhan santri, baik minat, bakat, ataupun
kemampuannya.
b.
Tenaga mengajar pesantren, tanpa
mengurangiperan kiai, untuk pengembangan pesantren yang adaptif kiranya perlu
kriteria-kriteria khusus dalam perekrutan tenaga pengajarnya.
c.
Proses pembelajaran di pesantren,
karena jumlah santri yang cukup banyakdan santri juga tidak lagi menerima
informasi sepihak, perlu dikembangkan daya nalar, kritik dan kreatifitas
santri.
d.
Sarana pendidikan di pesantren, faktor
sarana sangat menentukan, hampir bisa dipastikan dengan sarana belajar yang
lengkap, hasil yang dicapai akan lebih baik.
e.
Aktivitas kesantrian tidak hanya
meliputi mengaji, shalat berjamaah, tadarus, membaca kitab, untuk kondisi
sekarang wawasan santri perlu diperluas dengan aktivitas yang lebih banyak.
Dalam
kerangka pelaksanaan desentralisasi pendidikan, padadasarnya keberadaan
pesantren tidak banyak yang berubah sebab sebagai konsekuensinya dari
desentralisasi pendidikan adalah diserahkannya kembali pendidikan kepada
masyarakat yang memilikinya, sementara pesantren sudah sejak lama berada di
tengah-tengah masyarakat, didirikan oleh masyarakar dan untuk masyarakat. Oleh
kerena itu yang perlu dibenahi hanya dalam hal-hal bagaimana agar pesantren
tidak ketinggalan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta berbagai perubahan yang terjadi.[21]
BAB
III
KESIMPULAN
Sistem otonomi daerah
adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan
di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan pusat. Kekurangan sistem
desentralisasi pada otonomi daerah adalah wewenang daerah tersebut hanya
mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk
keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk
dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
Ada 6 faktor yang
menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum jelas
aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota. 2)
Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk
dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak
memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4) Kurangnya
perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat
dalam pengelolaan pendidikan. 5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati,
Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan
belum menjadi prioritas utama. 6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki
kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan
sarana, prasarana dan dana yang dimiliki.
Pendidikan
umum sudah jelas posisinya karena pendidikan umum ini kewenangannya diserahkan
kepada daerah atau didesentralisasikan. Sementara itu, pendidikan agama
(madrasah dan pesantren) yang berada di bawah Departemen Agama, sampai sekarang
masih banyak yang pro kontra. Akibat perlakuan yang berbeda dan cendrung
diskriminatif dari pemerintah, maka penyelenggaraan pendidikan Islam khusus
yang berstatus swasta, sebagian besar menghadapi kesulitan dan keterbatasan
biaya, mengakibatkan mutu pendidikan Islam, fasilitas sarana dan prasarana, jumlah
guru maupun pendanaan sangat rendah.
DAFTAR
PUSTAKA
Daud, B, A., 1994, Capita Selekta Hukum Tata Negara, Jakarta
: Rineka Cipta.
Hasbullah., 2007, Otonomi
Pendidikan, Jakarta : PT. rajagrapindo Persada.
http://irhambaktipasaribu.wordpress.com/2012/03/30/pendidikan-islam-dalam-menghadapi-
era-otonomi-daerah-dan-sistem-desentralisasi.
[1]
Abu Daud Busroh, Capita Selekta Hukum Tata Negara, (Jakarta : Rineka
Cipta, 1994), h. 271
[2]
Ibid.
[3]
Ibid. h. 272
[4]
http://irhambaktipasaribu.wordpress.com/2012/03/30/pendidikan-islam-dalam-menghadapi-
era-otonomi-daerah-dan-sistem-desentralisasi.
[6]
http://irhambaktipasaribu.wordpress.com/2012/03/30/pendidikan-islam-dalam-menghadapi-
era-otonomi-daerah-dan-sistem-desentralisasi.
[7]
Hasbullah, Otonomi Pendidikan, (Jakarta : PT. Rajagrapindo Persada,
2007), h. 148-149.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid. h. 150
[10]
Ibid. h. 151
[11]
Ibid. h. 152
[12]
Ibid. h. 153
[13]
Ibid. h. 163
[14]
Ibid.
[15]
Ibid. h. 164
[16]
Ibid.
[17]
Ibid. h. 165
[18]
Ibid. h. 166
[19]
Ibid.
[20]
Ibid. h.167
[21]
Ibid. h. 169-170,
0 komentar:
Posting Komentar