BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 19 September 2013

MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Tentang DILEMA BARU PENDIDIKAN ISLAM PASCA OTODA



MAKALAH SEJARAH  PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Tentang DILEMA BARU PENDIDIKAN ISLAM PASCA OTODA
Oleh : Witry Yulia

STAI-YDI LUBUK SIKAPING

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Otonomi Daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001 membawa perubahan besar dalam pengelolaan pendidikan. Di era otonomi daerah, Pemda bertanggung jawab atas pengelolaan sektor pendidikan di semua jenjang di luar pendidikan tinggi (SD, SLTP, SLTA).
Dari sisi substansi, Pemda bertanggung jawab atas hampir segala bidang yang terkait dengan sektor pendidikan (kecuali kurikulum dan penetapan standar yang menjadi kewenangan Pusat). Studi ini bertujuan untuk: (1) melihat perubahan yang terjadi dalam hal pola pembiayaan pendidikan setelah diberlakukannya otonomi daerah, (2) melihat perkembangan kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya, (3) melihat berbagai masalah yang muncul dalam pembiayaan pendidikan di era otonomi daerah, serta (4) merumuskan serangkaian rekomendasi guna mengatasi berbagai masalah yang muncul.
Pendidikan umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional sudah jelas posisinya karena pendidikan termasuk yang kewenangannya diserahkan kepada daerah atau didesentralisasikan. Sementara itu, pendidikan agama (madrasah dan pesantren) yang berada di bawah Departemen Agama, sampai sekarang masih banyak diperdebatkan
Persoalannya sekarang adalah ketika pendidikan Islam masuk dan diakui dalam perspektif perundang-undangan pendidikan nasional, baik UU Nomor 2 Tahun1989 maupun UU Nomor 20 Tahun 2003. Secara realitasnya pendidikan Islam yang dalam konstalasi pendidikan di Indonesia hampir mencapai 35%, secara umum masih banyak tertinggal, baik dari segi mutu, fasilitas sarana dan prasarana, jumlah guru maupun pendanaan.
Akibat perlakuan yang berbeda dan cendrung diskriminatif dari pemerintah, maka penyelenggaraan pendidikan Islam khusus yang berstatus swasta, di mana sebagian besar menghadapi kesulitan dan keterbatasan biaya, mengakibatkan mutu pendidikan Islam sangat rendah.

B.     Tujuan
1.      Mengetahui dilema pendidikan Islam pasca otoda dan dampaknya terhadap pendidikan Agama Islam.











BAB II
DILEMA BARU PENDIDIKAN ISLAM PASCA OTODA

A.      Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Pemberlakuan Undang-undang (UU No. 22 tahun 1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun 2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU tersebut menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Pada tahap awal UU Pemda itu diberlakukan, telah mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang sudah tidak sabar ingin rancangan UU tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda itu diberlakukan. Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun 2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam beberapa hal baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan, prasarana maupun sarana dan sumber daya lainnya belum siap.
Pemberlakuan Otonomi daerah dalam kondisi kesiapan yang minimal, bersamaan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi, di tengah-tengah suasana euphoria kebebasan (dari rezim orba), menyebabkan dinamika penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat.[3]
Sistem otonomi daerah atau otoda yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah daerah atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.[4]

B.       Permasalahan dalam Pelaksanaan Otonomi Pendidikan
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.
Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dankota. 2) Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4) Kurangnya  perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. 5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. 6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.[5]

C.      Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Dunia Pendidikan
Otonomi  pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil  harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu :
1.      Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan  disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning), c)  hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.
Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya. Menurut Penelitian Simmons dan Alexander  (1980) bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan  secara bersama-sama; salah satu tujuan UU No.20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.
2.      Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan   diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3.      Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
Pada era otonomi, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala   pemerintahan daerah,kotadiberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah.
4.      Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruhIndonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
5.      Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat   tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.[6]

D.      Permasalahan Pendidikan Islam
Pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan perubahan besar, bukan hanya dalam bidang pemerintahan dan birokrasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional sudah jelas posisinya karena pendidikan termasuk yang kewenangannya diserahkan kepada daerah atau didesentralisasikan. Sementara itu, pendidikan agama (madrasah dan pesantren) yang berada di bawah Departemen Agama, sampai sekarang masih banyak diperdebatkan.[7]
Ada keinginan bahwa lembaga-lembaga pendidikan agama ini juga didesentralisasikan dalam arti pengelolaannya dibawah satu atap yaitu dinas pendidikan daerah. Dengan berada satu atap diharapkan posisi pendidikan agama tidak lagi termarginalkan terutama dalam aspek pembiayaan, ia akan masuk dalam anggaran pembiayan daerah (APBD). Namun di satu sisi masih banyak yang berkeinginan agar posisi pendidikan agama tetap di bawah Departemen Agama dengan didekonsentralisasikan ke Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi setempat. Tentang pembiayaan diharapkan juga mendapatkan dari APBD. Hal ini mengingat bagaimanapun lembaga pendidikan agama juga merupakan aset daerah yang berperan besar dalam penyelengaraan pendidikan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia, namun dalam realitas penyelengaraannya banyak yang sangat memprihatinkan.[8]
Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa peran pendidikan Islam untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia sangat penting dan urgen. Oleh karena itu, ia merupakan aset bangsa yang semertinya harus dibantu dan dipelihara. Sayangnya, peran pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam ini sejak awal kemerdekaan sampai sekarang sangat minim (Azyumardi Azra, 2002:8).[9]
Persoalannya sekarang adalah ketika pendidikan Islam masuk dan diakui dalam perspektif perundang-undangan pendidikan nasional, baik UU Nomor 2 Tahun1989 maupun UU Nomor 20 Tahun 2003. Secara realitasnya pendidikan Islam yang dalam konstalasi pendidikan di Indonesia hampir mencapai 35%, secara umum masih banyak tertinggal, baik dari segi mutu, fasilitas sarana dan prasarana, jumlah guru maupun pendanaan.[10]
Akibat perlakuan yang berbeda dan cendrung diskriminatif dari pemerintah, maka penyelenggaraan pendidikan Islam khusus yang berstatus swasta, di mana sebagian besar menghadapi kesulitan dan keterbatasan biaya, mengakibatkan mutu pendidikan Islam sangat rendah.[11]
Ketertinggalan madrasah di banding sekolah umum menunutut semua pihak untuk menuntaskan permasalahan ini sesegera mungkin. Pemerintah pusat diharapkan segera mereformasikan pandangannya yang menganggap madrasah sebagai pendidikan “kelas dua”. Sementara itu pemerintah daerah dapat mengembangkannya menjadi lembaga pendidikan alternatif dan pengelolaan madrasah harus semakin kreatif, inovatif dalam merebut persaingan pasar. Perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik ke otonomi dengan menerapkan model comunity base education dapat dijadikan momentum oleh pemerintah daerah dalam rangka mengembangakan madrasah sebagai pusat keunggulan.[12]




E.       Reposisi Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah
1.                                        Reposisi Pendidikan Madrasah
Pengembangan madrasah yang dilakukan sejak berlakunya UU No. 2 Tahun 1989 telah menunjukkan banyak kemajuan. Beberapa indikator telah menunjukkan keberhasilan pengembangan madrasah dilihat dari kondisi fisik madrasah (negeri) sudah banyak yang cukup baik dan bagus. Bahkan ada beberapa madrasah yang dijadikan model dilengkapi dengan sara pendidikan yang mewadahi seperti pusat belajar, laboratorium, perpustakaan. Guru-guru madrasah juga telah ditingkatkan kompetensi dan kemampuannya melalui berbagai pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri.[13]
Sejak berlakunya UU NO. 2 Tahun 1989, pendidikan madrasah telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, visi pendidikan madrasah tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional.[14]
Otonomi pendidikan merupakan kekuatan madrasah yang juga sekaligus sebagai kelemahannya jika tidak dibarengi dengan kepemimpinan madrasah yang visioner dan mampu mengelola perubahan. Kelemahan lainnya adalah adanya kecendrungan resistensi terhadap nilai-nilai lama yang mengakibatkan madrasah terlempar dari mainstream pendidikan baik pada masa kolonial maupun pasca kemerdekaan.[15]
Kebijakan pengembangan madrasah yang dilakukan oleh Departemen Agama selama ini mengakomodasikan tiga kepentingan. Pertama, kebijakan itu memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi umat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau pratik hidup Islami. Kedua, Kebijakan itu memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan,berkepribadian, serta produktif dan sederajat dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan masa depan (Malik Fadjar, 1999).[16]
Perubahan yang sangat cepat, terutama akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah berdampak pada dunia pendidikan madrasah. Kondisi yang demikian memang memaksa madrsah untuk terus berbenah dan melakukan reorientasi terhadap tujuan, metode pembelajaran, meteri pembelajaran dan sebagainya. Sebab, kalau hal demikian tidak dilakukan, sudah dapat dipastikan lembaga pendidikan Islam akan semakin tertinggal.[17]
Oleh sebab itu, di era otonomi daerah dan otonomi pendidikan, reposisi kelembagaan Islam yang dalamhal ini diwakili madrasah, ditunjukan pada berkembanganya identitas lembaga tersebut yang pada akhirnya akan melahirkan pribadi peserta didiknya yang mempunyai identitas kerena pembinaan madrasah dengan ciri khas yang dimilikinya.[18] 
2.                                        Modernisasi Pesantren
Diantara lembaga pendidikan Islam selain madrasah yang mempunyai peran strategis dalam konteks pendidkan nasional adalah lembaga pendidikan pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dalam hal pengelolaannya sepenuhnya dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat.[19]
Sejak tahun 1970-an, pesantren terangkat dalam wacana intelektual kaum muslim di Indonesia, bersama dengan isu pengerahan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan isu modernisasi. Melalui sentuhan beberapa aktivis yang kebanyakan aluminya, lembaga tradisional yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia tersebut mengalami proses aktualisasi, baik dalam bentuk resistensi maupun integrasi.[20] 
Upaya pengembangan pondok pesantren dalam konteks otonomi daerah, ada dua hal yang memerlukan perhatian secara khusus, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Pengembangan yang bersifat eksternal, diantaranya sebagai berikut :
a.    Tetap menjaga agar citra pesantren di mata masyarakat sesuai harapan masyarakat.
b.    Meskipun diakui kekhusussanya, pesantren merupakan bagian dari pendidikan nasional, dan santrinyapun merupakan bagian integral dari masyarakat kerena mereka dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab dalam masyarakat.
c.    Santri-santri hendaknya dipersiapakan untuk mampu berkompetisidalam masyarakat yang majemuk.
d.   Pesantren hendaknya terbuka terhadap setiap perkembangan dan perubahan yang terjadi.
e.    Pesantren juga diharapkan dapat dijadikan sebagai pusat studi (laboratorium agama).
Sementara itu, yang bersifat internal dalam pengembangan pesantren, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a.    Kurikulum pesantren hendak dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi kebtuhan santri, baik minat, bakat, ataupun kemampuannya.
b.    Tenaga mengajar pesantren, tanpa mengurangiperan kiai, untuk pengembangan pesantren yang adaptif kiranya perlu kriteria-kriteria khusus dalam perekrutan tenaga pengajarnya.
c.    Proses pembelajaran di pesantren, karena jumlah santri yang cukup banyakdan santri juga tidak lagi menerima informasi sepihak, perlu dikembangkan daya nalar, kritik dan kreatifitas santri.
d.   Sarana pendidikan di pesantren, faktor sarana sangat menentukan, hampir bisa dipastikan dengan sarana belajar yang lengkap, hasil yang dicapai akan lebih baik.
e.    Aktivitas kesantrian tidak hanya meliputi mengaji, shalat berjamaah, tadarus, membaca kitab, untuk kondisi sekarang wawasan santri perlu diperluas dengan aktivitas yang lebih banyak.
Dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi pendidikan, padadasarnya keberadaan pesantren tidak banyak yang berubah sebab sebagai konsekuensinya dari desentralisasi pendidikan adalah diserahkannya kembali pendidikan kepada masyarakat yang memilikinya, sementara pesantren sudah sejak lama berada di tengah-tengah masyarakat, didirikan oleh masyarakar dan untuk masyarakat. Oleh kerena itu yang perlu dibenahi hanya dalam hal-hal bagaimana agar pesantren tidak ketinggalan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai perubahan yang terjadi.[21]

 








BAB III
KESIMPULAN

Sistem otonomi daerah adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan pusat. Kekurangan sistem desentralisasi pada otonomi daerah adalah wewenang daerah tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota. 2) Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4) Kurangnya  perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. 5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. 6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki.
Pendidikan umum sudah jelas posisinya karena pendidikan umum ini kewenangannya diserahkan kepada daerah atau didesentralisasikan. Sementara itu, pendidikan agama (madrasah dan pesantren) yang berada di bawah Departemen Agama, sampai sekarang masih banyak yang pro kontra. Akibat perlakuan yang berbeda dan cendrung diskriminatif dari pemerintah, maka penyelenggaraan pendidikan Islam khusus yang berstatus swasta, sebagian besar menghadapi kesulitan dan keterbatasan biaya, mengakibatkan mutu pendidikan Islam, fasilitas sarana dan prasarana, jumlah guru maupun pendanaan sangat rendah.














DAFTAR PUSTAKA

Daud, B, A., 1994, Capita Selekta Hukum Tata Negara, Jakarta : Rineka Cipta.
Hasbullah., 2007, Otonomi Pendidikan, Jakarta : PT. rajagrapindo Persada.
http://irhambaktipasaribu.wordpress.com/2012/03/30/pendidikan-islam-dalam-menghadapi- era-otonomi-daerah-dan-sistem-desentralisasi.







[1] Abu Daud Busroh, Capita Selekta Hukum Tata Negara, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), h. 271
[2] Ibid.
[3] Ibid. h. 272
[4] http://irhambaktipasaribu.wordpress.com/2012/03/30/pendidikan-islam-dalam-menghadapi- era-otonomi-daerah-dan-sistem-desentralisasi.
[6] http://irhambaktipasaribu.wordpress.com/2012/03/30/pendidikan-islam-dalam-menghadapi- era-otonomi-daerah-dan-sistem-desentralisasi.
[7] Hasbullah, Otonomi Pendidikan, (Jakarta : PT. Rajagrapindo Persada, 2007), h. 148-149.
[8] Ibid.
[9] Ibid. h. 150
[10] Ibid. h. 151
[11] Ibid. h. 152
[12] Ibid. h. 153
[13] Ibid. h. 163
[14] Ibid.
[15] Ibid. h. 164
[16] Ibid.
[17] Ibid. h. 165
[18] Ibid. h. 166
[19] Ibid.
[20] Ibid. h.167
[21] Ibid. h. 169-170,


0 komentar: