MAKALAH ULUMUL HADIST II tentang
INGKAR SUNNAH
Oleh : Witry Yulia
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI-YDI)
LUBUK
SIKAPING
A.
Pengertian Ingkar Sunnah
Menurut Anis.
I dkk, kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari
dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar berasal dari akar kata bahasa Arab:
yang mempunyai beberapa arti diantaranya: tidak
mengakui dan tidak menerima baik dilisan dan dihati, bodoh atau tidak mengetahui
sesuatu dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati.[1]
Dari beberapa
arti kata Ingkar di atas dapat disimpulkan bahwa Ingkar secara etimologi
diartikan menolak, tidak mengakui dan tidak menerima sesuatu baik lahir dan
bathin atau lisan dan hati yang di latar belakangi oleh kesombongan, keyakinan
dan lain-lain.[2]
Sedangkan
menurut Rasyid. D Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap
sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi
tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik
sebahagian maupun keseluruhannya.[3]
Ada tiga
jenis kelompok Ingkar Sunnah. Pertama, kelompok yang menolak hadis-hadis
Rasulullah SAW secara keseluruhan.
Kedua, kelompok yang menolak hadis-hadis yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an
secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga, Kelompok yang hanya menerima
hadis-hadis mutawatir dan menolak hadis ahad walaupun sahih.[4]
Selain itu
ada beberapa definisi Ingkar Sunnah yang masih sangat sederhana pembatasannya
di antaranya sebagai berikut:
1. Paham
yang timbul dalam masyarakay Islam yang menolak hadist atau sunnah sebagai
sumber ajaran agama Islam kedua setelahb Al-Qur’an.
2. Suatu
pahamyang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum
Islam darisunnah shahih baik sunnah praktis atau yang secara formal
dikodifikasikan para ulama, baik secara totaloitas mutawatir maupun ahad atau
sebagian saja, tanpa ada alasanyang dapat diterima.[5]
Definisi
kedua lebih rasional yang mengakumulasi
berbagai macam Ingkar Sunnah yang terjadi disebagian masyarakat
belakangan ini terutama, sedangkan definisi sebelumnya tidak mungkin terjadi
kerena tidak ada atau tidak mungkin seorang muslim mengingkari sunnah sebagai
dasar hukum Islam.[6]
Dapat
disimpulkan Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah
Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya, baik lahir dan bathin atau lisan
dan hati yang di latar belakangi oleh kesombongan, keyakinan dan lain-lain.
B.
Sejarah Kemunculan dan Latar Belakangnya
Sejarah
perkembangan Ingkar Sunnah hamnya terjadi dua masa, yaitu masa klasik dan masa
modern. Menurut Prof. Dr. M. Mushhtafa Al-Azhami sejarah Ingkar Sunnah Klasik
terjadi pada masa Asy-Syafi’i (w. 204 H) abad ke-2 H/7M. Kemudian hilang dari
peredaran selama kurang lebih dari 11 abad. Kemudian pada Abad modern Ingkar
Sunnah timbuk kembali di India dan Mesir dari abad 13 H/19 M sampai pada masa
sekarang. Sedangkan pada masapertengahan Ingkar Sunnah tidak muncul kembali,
kecuali Barat mulai meluaskan kolonialismenya ke negara-negara Islam dengan
menaburkan fitnahdan mencorang-coreng citra agama Islam.[7]
1.Ingkar
Sunnah Klasik
Pada masa sahabat , seperti dituturkan
oleh Iman Al-Hasan Al-Basri (w. 110 H), ada sahabat yang kurang memerhatikan
kedudukan sunnah Nabi SAW, yaitu ketika sahabat Nabi SAW. Imran bin Hushain (w.
52 H) sedang mengajar hadist. Tiba-tiba ada seorang yang meminta agar ia tidak
usah mengajar hadist, tetapi cukup mengajar
Al-Qur’an saja. Jawab Imran, tahukah Anda, seandainya Anda dan
kawan-kawan Anda hanya memakai Al-Qur’an, apakah Anda dapat menemukan dalam
Al-Qur’an bahwa shalat Zhuhur itu empat rakaat, Ashar empat rakaat, dan Magrib
tiga rakaat? Apabila Anda hanya memakai Al-Qur’an dari mana Anda tahu bahwa tawah
(mengelilingi ka’bah) dan sa’i antara Shafa dan Marwa itu tujuh kali? Mendengar
jawaban itu, orang itu berkata, “Anda telah menyadarkan saya. Mudah-mudahan
Allah selalu menyadarkan Anda”. Akhirnya sebelum wafat orang itu menjadi ahli
fiqh.[8]
Ingkar Sunnah klasik terjadi pada masa
Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) yang menolak kehujjahan sunnah dan menolak sunnah
sebagai sumber hukum Islam baik mutawatir
atau ahad. Imam Asy-Syafi’i yang di
kenal sebagai Nashir As Sunnah (
pembela sunnah)pernah di datangi oleh seseorang yand di sebut sebagai ahli ten
tang mazhab teman-temannya yang menolak seluruh sunnah, baik mutawatir atau ahad. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi’i
secar panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang di ajukan. Namun semua
argumentasi yang di gunakan yang dikemukan orang tersebut dapat di tangkis oleh
Asy-Syafi’i dengan jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan rasional sehingga
akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi.[9]
Menurut penelitian Muhammad
Al-Khudhari Beik bahwa seseorang yang mengajak berdebat dengan Asy-Syafi’i
tersebut dari kelompok Mu’tazilah,Karena dinyatakan oleh Asy-Syafi’i bahwa ia
datang dari Basrah. Sedangakan menurut keterangan Muhammmad Abu Zahrah,
Abdurrahman bin Mahdi ( salah seorang pembela Asy-Syafi’i dan hidup semasanya)
oarng tersebut dari kalngan ekstrimis kaum Khawarij dan Zindiq dengan alasan
sebagian golangan khawarij tidak mengakui hukum rajam bagi pezina Muhshan
(telah nikah) karena tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.[10]
Komentar As-Siba’i, pendapat
Al-Khudhari Beik lah yang lebih kuat, kerena dilihat dari segi argumentasinya
sama dengan yang diajukan oleh An-Nazhzham yang mengingkari kepastian sunnah mutawatir. Pendapat ini menurutnya juga
didukung oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya Ta’wil
Mukkhatalif Al-Hadist yang menyebutkan kedudukan tokoh-tokoh Mu’tazilah
terhadap sunnah. Muhammad Abu Zahrah juga membenarkan bahwa pengingkar sunnah
tersebut dari kelompok Mu’tazilah. Namun, bisa jadi esensi mereka adalah dari
kelompok zindik dan ekstrimis Khawarij (sebagaimana kata Abdurrahman bin Mahdi)
yang berkedok Mu’tazilah untuk mencapai tujuan tertentu.[11]
Secara garis besar, Muhammad Abu
Zahrah berkesimpulan bahwa ada tiga kelompok pengingkar sunnah yang
berhadapandengan Asy-Syafi’i yaitu sebagai berikut:
a. Menolak
sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui AL-Qur’an saja yang
dapat dijadikan hujjah.
b. Tidak
menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al-Qur’an.
c.
Hanya menerima sunnah Mutawatir saja dan menolak selain sunnah
Mutawatir yakni sunnah ahad.[12]
Begitulah paham Ingkar Sunnah pada
masa klasik. Ia muncul pada masa sahabat, kemudian berkembang pada abad II H
dan Akhirnya lenyap dari peredaran pada akhir abad III H. Dan baru pada abad
XIV H, paham itu muncul kembali kepermukaan sebagai akibat adanya kolonialisme
yang melanda umat Islam.[13]
Menurut pendapat Mustafa. Y. A ada beberapa
hal yang perlu dicatat tentang Ingkar Sunnah pada masa klasik, yaitu bahwa Ingkar
Sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perseorangan dan hal itu
muncul akibat ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan sunnah dalam Islam. Kerena itu, setelah diberi tahu
tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya menerimanya. Sementara lokasi Ingkar
Sunnah klasik umumnya berada di Irak, khususnya Bashrah.[14]
2.Ingkar
Sunnah Modern
Sebagaimana pembahasan di atas, bahwa
Ingkar Sunnah Klasik lahir Di Irak (kurang lebih abad 2 H/7 M), Kemudian
menetas kembali pada abad modern di India (kurang lebih adab 19 M/13 H),
setelah hilang dari peredaran krang lebih 11 abad. Baru muncul Ingkar Sunnah di
Mesir (pada abad 20 M).[15]
Selain itu Solahuddin. A , Suyadi. A.
Mengatakan Ingkar Sunnah Modern terjadi pada adab keempat belas Hijriah,
pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan,dan kali ini dengan bentuk
penampilan yang berbeda dari Ingkar Sunnah Klasik. Apabila Ingkar Sunnah Klasik
muncul di Bashrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi
dan kedudukan Sunnah, Ingkar Sunnah Modern muncul di Kairo Mesir akibat
pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.[16]
Apabila Ingkar Sunnah klasik masih
banyak bersifat perorangan dan tidak menamakan dirinya sebagai mujtahid atau
pembaharu, Ingkar Sunnah modern banyak bersifat kelompok yang terorganisasi,
dan tokoh-tokhnya banyak mengklaim dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu.
Apabila para pengingkar sunnah pada masa klasik mencabut pendapatnya setelah
mereka menyadari kekeliruannya, para pengingkar sunnah pada masa modren banyak
bertahan pada pendiriannya, meskipun kepada mereka telah terangkan urgensi
sunnah dalam Islam. Bahkan diantara mereka ada yang tetap menyebarkan
pemikiranya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat mengeluarkan larangan
resmi terhadap aliran tersebut.[17]
Al-Mawdudi yang dikutip oleh Hadim
Husein Ilahi Najasy seorang guru besar Fakultas Tarbiah Jamiah Umi Al-Qura
Tha’if, demikian juga dikutif beberapa ahli hadis juga mengatakan, bahwa ingkar
sunnah lahir kembali di India, setelah kelahiran pertama di Irak semasa klasik.
Tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan, Ciraq Ali, Maulevi Aslam, Cirachburri,
Ghulam Ahmad Parwes dan Abdul Khalik Mawadah. Sayyid Ahmad Khan sebagai
penggagas sedangkan Cirag Ali dan lainnya sebagai pelanjut ide-ide Abu
Al-Hutzail pemikir ingkar sunnah tersebut.[18]
Sebab utama awal timbulnya Ingkar
Sunnah modren ini adalah akibat pengaruh kolonolialisme yang semakin dahsat
sejak abat 19 M di dunia Islam, terutama di India setelah terjadinya
pemberontakan melawan kolonial Ingris 1857 M. Berbagai usaha yang dilakukan
oleh kolonial untuk mendangkalkan ilmu Agama, penyimpangan aqidah melalui
pimpinan umat Islam dan tergiurnya mereka terhap teori-teori barat untuk
memberikan interpretasi hakikat islam.[19]
Di Mesir diawali dari tulisan
Dr.Taufik Shidqi dengan beberapa artikelnya di majalah Al-Mannar diantaranya
berjudul Al-Islam Huw Al-Quran Wahdah
(Islam hanyalah Al-Quran saja) kemudian di ikuti oleh sarjana lain diantaranya
Ahmad Amin, Mahmud Abu Rayyah. Mesir namapak lebih subur dinamika kontroversi
sunnah, disamping kebebasan berfikir sejak masa pembaharuan Muhammad Abduh,
buku-buku orientalis sangat berpengaruh dalam perkembangan bacaan para pelajar
dan sarjana.[20]
C.
Argumentasi Ingkar Sunnah
Sebagai
suatu paham atau aliran, ingkar sunnah baik yang klasik maupun modren memiliki
argumen-argumen yang dijadikan pegangan oleh mereka. Tanpa argumen-argumen itu
barangkali pemikiran-pemikiran itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Berkut ini
ada akan dijelaskan argumen-argumen mereka dan sanggahan Ulama Ahli Hadis
terhadap mereka.
1. Agama
bersifat kongkrit dan pasti
Mereka
berpendapat bahwa agama harus dilandasi pada suatu yang pasti. Apabila kita
mengambil dan memakai sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti seperti
dituturkan dalam Ayat sebagai berikut:[21]
Surat
Al-Baqarah Ayat 1 dan 2
1. Alif laam miin.
2. Kitab (Al Quran) ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Surat Al-Fathir Ayat 31
dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu Yaitu Al kitab (Al Quran) Itulah yang benar, dengan
membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
mengetahui lagi Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.
Sementara agama islam
bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian sebab keberadaan hadis
khususnya hadis Ahad bersifat dhanni
(Dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada pringkat pasti. Karena itu apabila
agama islam berlandaskan hadis disamping Al-Quran, Islam bersifat ketidak
pastian. Dan ini di kecamkan oleh Allah dalam firman-Nya:[22]
An-Najm Ayat 28
dan mereka tidak
mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran.
2.
Al-Quran sudah
lengkap
Dalam sariat Islam, tidak
ada dalil lain, kecuali Al-Quran. Allah SWT. Berfirman
Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-Quran) (QS. Al-An’aam : 38)
Jika kita berpendapat
Al-Quran masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara tegas mendustakan
Al-Quran dan kedudukan Al-Quran yang membahas segala hal secara tuntas.
Padahal, ayat di atas membantah Al-Quran masih mengandung kekurangan. Oleh
karena itu, Dalam syariat Allah tidak mungkin diambil pegangan lain, kecuali
Al-Quran. Argumen ini dipakai noleh Taufik Sidqi dan Abu Rayyah.[23]
3.
Al-Qur’an Tidak
Memerlukan Penjelasan
Al-Quran tidak memerlukan
penjelasan, justru sebaliknya Al-Quran merupakan penjelas segala hal. Allah
berfirman,
“(dan ingatlah) akan hari
(ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari
mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh
umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (Q.S. An-Nahl Ayat 89)”.
“Maka Patutkah aku
mencari hakim selain daripada Allah, Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab
(Al Quran) kepadamu dengan terperinci? orang-orang yang telah Kami datangkan
kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari
Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali Termasuk orang yang
ragu-ragu . (Q.S. Al-Anam Ayat 114)”.
Ayat-ayat ini dipakai
dalil oleh pengingkar sunnah, baik dulu maupun sekarang. Mereka mengangap
Al-Quran sudah cukup karena memberikan penjelasan terhadap segala masalah.
Mereka adalah orang-orang yang menolak hadis secara keseluruhan seperti Taufiq
Sidqi dan Abu Rayyah.[24]
D.
Bantahan Ulama Terhadap
Argumentasi Ingkar Sunnah
1.
Bantahan terhadap argumen pertama
Alsan mereka bahwa sunnah
itu dhanni (dugaan kuat) sedangkan kita diharuskan mengikuti yang pasti
(yakin), masalahnya tidak demikian sebab Al-Quran sendiri meskipun kebenaranya
sudah diyakini sebagai Kalamullah
tidak semua ayat memberi petunjuk hukum yang pasti sebab banyak ayat yang
pengertiannya masih dhanni (dhanni Ad-dalalah). Bahkan orang yang memakai
pengertian ayat seperti ini juga tidak dapat meyakinkan bahwa pengertian itu
bersifat pasti (yakin). Dengan demikian berarti ia juga tetap mengikuti pengertian
ayat yang masih bersifat dugaan kuat (dhanni Ad-dalalah). Adapun firman Allah
SWT, [25]
“dan kebanyakan mereka
tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka kerjakan (Q.S. Yunus Ayat 36)”.
Yang dimaksut dengan
kebenaran (Al Haq) disini adalah masalah yang sudah tetap dan pasti. Jadi
maksut ayat ini adalah bahwa dhanni tidak dapat melawan kebenaran yang sudah
tetap dengan pasti, sedangkan dalam hal menerima hadist, masalahnya tidak
demikian.[26]
2.
Bantahan terhadap argumen kedua dan ketiga
Kelompok pengingkar sunnah
baik masa lalu maupun sekarang, kekurangan waktu mempelajari Al-Quran. Hal itu
karena mereka kebanyakan memakai dalil
“........dan Kami turunkan
kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Q.S. An
Nahl Ayat 89)”.
Padahal dalam Surat An
Nahl Ayat 44 Allah berfirman,
“....... dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An Nahl Ayat
44)”.[27]
Apabila Allah sendiri
yangmenurunkan Al-Quran membebankan kepada Nabi-Nya agar ia menerangkan isi
Al-Quran, dapatkah dibenarkan seorang muslim menolak keterangan atau penjelasan
tentang isi Al-Quran tersebut, dan memakai Al-Quran sesuai pemahaman sendiri
seraya tidak mau memakai penjelasan-penjelasan yang berasal dari Nabi SAW.
Apakah ini tidak berarti percaya kepada sejumlah ayat Al-Quran dan tidak
percaya kepada Ayat-ayat lain, Allah SWT berfirman,
“Apakah kamu beriman
kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat
(Q.S. Al-Bagarah Ayat 85)”.[28]
Sedangkan Argumen mereka
dengan Surat Al-An’am Ayat 38
“Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-Quran), kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan”.
Hal itu tidak pada
tempatnya sebab Allah juga menyuruh kita untuk memakai apa yang disampaikan
Nabi SAW. Seperti dalam Firman-Nya,
“........apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah........(Q.S. Al Hasyir Ayat 7)”
Allah juga berfirman,
“dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata (Q.S Al Ahzab
Ayat 36)”.[29]
Berdasarkan teks
Al-Quran, Rasulullah SAW sajalah yang diberi tugas untuk menjelaskan kandungan
al-Qur’an, sedangkan kita diwajibkan untuk menerima dan mematuhi
penjelasan-penjelasan beliau baik berupa perintah atau larangan.[30]
[1] Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag, 2008. Ulumul
Hadist, Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 27
[2] Ibid. Hal. 28.
[3] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, 2009. Ulumul Hadist,
Badung: Pustaka Setia. Hal. 207.
[4] Ibid. Hal. 208
[5] Abdul Majid Khon. Op Cit. Hal. 28-29
1
[6] Ibid.
[7] Ibid. Hal 29-30
[8] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag. Op Cit. Hal. 208
2
[9] Abdul Majid Khon. Op Cit. Hal. 30
[10] Ibid.
[11] Ibid. Hal. 31
[12] Ibid. Hal. 31-32
3
[13] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag. Op Cit. Hal. 214
[14] Ibid. Hal. 215
[15]Abdul Majid Khon. Op Cit. Hal. 33
[16] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag. Op Cit. Hal. 215
[17] Ibit. Hal 215-216
4
[18] Abdul Majid Khon. Op Cit. Hal. 33
[19] Ibid
[20] Ibid. Hal. 34
5
[21] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag. Op Cit. Hal. 219
[22] Ibid. Hal. 220
6
[23] Ibid. Hal. 220
[24] Ibid Hal 221
7
[25] Ibid. Hal 222
[26] Ibid
8
[27] Ibid Hal 24
[28] Ibid
9
[29] Ibid Hal. 224-225
[30] Ibid.
10
0 komentar:
Posting Komentar