BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 19 September 2013

MAKALAH ULUMUL HADIST II tentang INGKAR SUNNAH



MAKALAH ULUMUL HADIST II tentang INGKAR SUNNAH

Oleh : Witry Yulia
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI-YDI)
LUBUK SIKAPING


A.        Pengertian Ingkar Sunnah
Menurut Anis. I dkk, kata “Ingkar Sunnah”  terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar berasal dari akar kata bahasa Arab:
yang mempunyai beberapa arti diantaranya: tidak mengakui dan tidak menerima baik dilisan dan dihati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati.[1]
Dari beberapa arti kata Ingkar di atas dapat disimpulkan bahwa Ingkar secara etimologi diartikan menolak, tidak mengakui dan tidak menerima sesuatu baik lahir dan bathin atau lisan dan hati yang di latar belakangi oleh kesombongan, keyakinan dan lain-lain.[2]
Sedangkan menurut Rasyid. D Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebahagian maupun keseluruhannya.[3]
Ada tiga jenis kelompok Ingkar Sunnah. Pertama, kelompok yang menolak hadis-hadis Rasulullah SAW  secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadis-hadis yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga, Kelompok yang hanya menerima hadis-hadis mutawatir dan menolak hadis ahad walaupun sahih.[4]
Selain itu ada beberapa definisi Ingkar Sunnah yang masih sangat sederhana pembatasannya di antaranya sebagai berikut:
1.       Paham yang timbul dalam masyarakay Islam yang menolak hadist atau sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelahb Al-Qur’an.
2.       Suatu pahamyang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam darisunnah shahih baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totaloitas mutawatir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasanyang dapat diterima.[5]
Definisi kedua lebih rasional yang mengakumulasi  berbagai macam Ingkar Sunnah yang terjadi disebagian masyarakat belakangan ini terutama, sedangkan definisi sebelumnya tidak mungkin terjadi kerena tidak ada atau tidak mungkin seorang muslim mengingkari sunnah sebagai dasar hukum Islam.[6]
Dapat disimpulkan Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya, baik lahir dan bathin atau lisan dan hati yang di latar belakangi oleh kesombongan, keyakinan dan lain-lain.

B.      Sejarah Kemunculan dan Latar Belakangnya
Sejarah perkembangan Ingkar Sunnah hamnya terjadi dua masa, yaitu masa klasik dan masa modern. Menurut Prof. Dr. M. Mushhtafa Al-Azhami sejarah Ingkar Sunnah Klasik terjadi pada masa Asy-Syafi’i (w. 204 H) abad ke-2 H/7M. Kemudian hilang dari peredaran selama kurang lebih dari 11 abad. Kemudian pada Abad modern Ingkar Sunnah timbuk kembali di India dan Mesir dari abad 13 H/19 M sampai pada masa sekarang. Sedangkan pada masapertengahan Ingkar Sunnah tidak muncul kembali, kecuali Barat mulai meluaskan kolonialismenya ke negara-negara Islam dengan menaburkan fitnahdan mencorang-coreng citra agama Islam.[7]     
1.Ingkar Sunnah Klasik
          Pada masa sahabat , seperti dituturkan oleh Iman Al-Hasan Al-Basri (w. 110 H), ada sahabat yang kurang memerhatikan kedudukan sunnah Nabi SAW, yaitu ketika sahabat Nabi SAW. Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajar hadist. Tiba-tiba ada seorang yang meminta agar ia tidak usah mengajar hadist, tetapi cukup mengajar  Al-Qur’an saja. Jawab Imran, tahukah Anda, seandainya Anda dan kawan-kawan Anda hanya memakai Al-Qur’an, apakah Anda dapat menemukan dalam Al-Qur’an bahwa shalat Zhuhur itu empat rakaat, Ashar empat rakaat, dan Magrib tiga rakaat? Apabila Anda hanya memakai Al-Qur’an dari mana Anda tahu bahwa tawah (mengelilingi ka’bah) dan sa’i antara Shafa dan Marwa itu tujuh kali? Mendengar jawaban itu, orang itu berkata, “Anda telah menyadarkan saya. Mudah-mudahan Allah selalu menyadarkan Anda”. Akhirnya sebelum wafat orang itu menjadi ahli fiqh.[8]
          Ingkar Sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) yang menolak kehujjahan sunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam baik mutawatir atau ahad. Imam Asy-Syafi’i yang di kenal sebagai Nashir As Sunnah ( pembela sunnah)pernah di datangi oleh seseorang yand di sebut sebagai ahli ten tang mazhab teman-temannya yang menolak seluruh sunnah, baik mutawatir atau ahad. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi’i secar panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang di ajukan. Namun semua argumentasi yang di gunakan yang dikemukan orang tersebut dapat di tangkis oleh Asy-Syafi’i dengan jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi.[9]
          Menurut penelitian Muhammad Al-Khudhari Beik bahwa seseorang yang mengajak berdebat dengan Asy-Syafi’i tersebut dari kelompok Mu’tazilah,Karena dinyatakan oleh Asy-Syafi’i bahwa ia datang dari Basrah. Sedangakan menurut keterangan Muhammmad Abu Zahrah, Abdurrahman bin Mahdi ( salah seorang pembela Asy-Syafi’i dan hidup semasanya) oarng tersebut dari kalngan ekstrimis kaum Khawarij dan Zindiq dengan alasan sebagian golangan khawarij tidak mengakui hukum rajam bagi pezina Muhshan (telah nikah) karena tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.[10]
          Komentar As-Siba’i, pendapat Al-Khudhari Beik lah yang lebih kuat, kerena dilihat dari segi argumentasinya sama dengan yang diajukan oleh An-Nazhzham yang mengingkari kepastian sunnah mutawatir. Pendapat ini menurutnya juga didukung oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya Ta’wil Mukkhatalif Al-Hadist yang menyebutkan kedudukan tokoh-tokoh Mu’tazilah terhadap sunnah. Muhammad Abu Zahrah juga membenarkan bahwa pengingkar sunnah tersebut dari kelompok Mu’tazilah. Namun, bisa jadi esensi mereka adalah dari kelompok zindik dan ekstrimis Khawarij (sebagaimana kata Abdurrahman bin Mahdi) yang berkedok Mu’tazilah untuk mencapai tujuan tertentu.[11]
          Secara garis besar, Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada tiga kelompok pengingkar sunnah yang berhadapandengan Asy-Syafi’i yaitu sebagai berikut:
a.       Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui AL-Qur’an saja yang dapat dijadikan hujjah.
b.       Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al-Qur’an.
c.        Hanya menerima sunnah Mutawatir saja dan menolak selain sunnah Mutawatir yakni sunnah ahad.[12]
          Begitulah paham Ingkar Sunnah pada masa klasik. Ia muncul pada masa sahabat, kemudian berkembang pada abad II H dan Akhirnya lenyap dari peredaran pada akhir abad III H. Dan baru pada abad XIV H, paham itu muncul kembali kepermukaan sebagai akibat adanya kolonialisme yang melanda umat Islam.[13]
          Menurut pendapat Mustafa. Y. A ada beberapa hal yang perlu dicatat tentang Ingkar Sunnah pada masa klasik, yaitu bahwa Ingkar Sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perseorangan dan hal itu muncul akibat ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan sunnah dalam     Islam. Kerena itu, setelah diberi tahu tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya menerimanya. Sementara lokasi Ingkar Sunnah klasik umumnya berada di Irak, khususnya Bashrah.[14]
2.Ingkar Sunnah Modern
          Sebagaimana pembahasan di atas, bahwa Ingkar Sunnah Klasik lahir Di Irak (kurang lebih abad 2 H/7 M), Kemudian menetas kembali pada abad modern di India (kurang lebih adab 19 M/13 H), setelah hilang dari peredaran krang lebih 11 abad. Baru muncul Ingkar Sunnah di Mesir (pada abad 20 M).[15]
          Selain itu Solahuddin. A , Suyadi. A. Mengatakan Ingkar Sunnah Modern terjadi pada adab keempat belas Hijriah, pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan,dan kali ini dengan bentuk penampilan yang berbeda dari Ingkar Sunnah Klasik. Apabila Ingkar Sunnah Klasik muncul di Bashrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah, Ingkar Sunnah Modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.[16]
          Apabila Ingkar Sunnah klasik masih banyak bersifat perorangan dan tidak menamakan dirinya sebagai mujtahid atau pembaharu, Ingkar Sunnah modern banyak bersifat kelompok yang terorganisasi, dan tokoh-tokhnya banyak mengklaim dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu. Apabila para pengingkar sunnah pada masa klasik mencabut pendapatnya setelah mereka menyadari kekeliruannya, para pengingkar sunnah pada masa modren banyak bertahan pada pendiriannya, meskipun kepada mereka telah terangkan urgensi sunnah dalam Islam. Bahkan diantara mereka ada yang tetap menyebarkan pemikiranya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.[17]
          Al-Mawdudi yang dikutip oleh Hadim Husein Ilahi Najasy seorang guru besar Fakultas Tarbiah Jamiah Umi Al-Qura Tha’if, demikian juga dikutif beberapa ahli hadis juga mengatakan, bahwa ingkar sunnah lahir kembali di India, setelah kelahiran pertama di Irak semasa klasik. Tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan, Ciraq Ali, Maulevi Aslam, Cirachburri, Ghulam Ahmad Parwes dan Abdul Khalik Mawadah. Sayyid Ahmad Khan sebagai penggagas sedangkan Cirag Ali dan lainnya sebagai pelanjut ide-ide Abu Al-Hutzail pemikir ingkar sunnah tersebut.[18]
          Sebab utama awal timbulnya Ingkar Sunnah modren ini adalah akibat pengaruh kolonolialisme yang semakin dahsat sejak abat 19 M di dunia Islam, terutama di India setelah terjadinya pemberontakan melawan kolonial Ingris 1857 M. Berbagai usaha yang dilakukan oleh kolonial untuk mendangkalkan ilmu Agama, penyimpangan aqidah melalui pimpinan umat Islam dan tergiurnya mereka terhap teori-teori barat untuk memberikan interpretasi hakikat islam.[19]
          Di Mesir diawali dari tulisan Dr.Taufik Shidqi dengan beberapa artikelnya di majalah Al-Mannar diantaranya berjudul Al-Islam Huw Al-Quran Wahdah (Islam hanyalah Al-Quran saja) kemudian di ikuti oleh sarjana lain diantaranya Ahmad Amin, Mahmud Abu Rayyah. Mesir namapak lebih subur dinamika kontroversi sunnah, disamping kebebasan berfikir sejak masa pembaharuan Muhammad Abduh, buku-buku orientalis sangat berpengaruh dalam perkembangan bacaan para pelajar dan sarjana.[20]


C.      Argumentasi Ingkar Sunnah
Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar sunnah baik yang klasik maupun modren memiliki argumen-argumen yang dijadikan pegangan oleh mereka. Tanpa argumen-argumen itu barangkali pemikiran-pemikiran itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Berkut ini ada akan dijelaskan argumen-argumen mereka dan sanggahan Ulama Ahli Hadis terhadap mereka.
1.   Agama bersifat kongkrit dan pasti
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandasi pada suatu yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti seperti dituturkan dalam Ayat sebagai berikut:[21]
Surat Al-Baqarah Ayat 1 dan 2
1.  Alif laam miin.
2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Surat Al-Fathir Ayat 31
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu Yaitu Al kitab (Al Quran) Itulah yang benar, dengan membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha mengetahui lagi Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.
Sementara agama islam bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian sebab keberadaan hadis khususnya hadis Ahad bersifat dhanni (Dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada pringkat pasti. Karena itu apabila agama islam berlandaskan hadis disamping Al-Quran, Islam bersifat ketidak pastian. Dan ini di kecamkan oleh Allah dalam firman-Nya:[22]
An-Najm Ayat 28
dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.
2.     Al-Quran sudah lengkap
Dalam sariat Islam, tidak ada dalil lain, kecuali Al-Quran. Allah SWT. Berfirman
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-Quran) (QS. Al-An’aam : 38)
Jika kita berpendapat Al-Quran masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara tegas mendustakan Al-Quran dan kedudukan Al-Quran yang membahas segala hal secara tuntas. Padahal, ayat di atas membantah Al-Quran masih mengandung kekurangan. Oleh karena itu, Dalam syariat Allah tidak mungkin diambil pegangan lain, kecuali Al-Quran. Argumen ini dipakai noleh Taufik Sidqi dan Abu Rayyah.[23]
3.     Al-Qur’an Tidak Memerlukan Penjelasan
Al-Quran tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Quran merupakan penjelas segala hal. Allah berfirman,
“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Q.S. An-Nahl Ayat 89)”.
“Maka Patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali Termasuk orang yang ragu-ragu . (Q.S. Al-Anam Ayat 114)”.
Ayat-ayat ini dipakai dalil oleh pengingkar sunnah, baik dulu maupun sekarang. Mereka mengangap Al-Quran sudah cukup karena memberikan penjelasan terhadap segala masalah. Mereka adalah orang-orang yang menolak hadis secara keseluruhan seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.[24]

D.      Bantahan Ulama Terhadap Argumentasi Ingkar Sunnah
1.       Bantahan terhadap argumen pertama
Alsan mereka bahwa sunnah itu dhanni (dugaan kuat) sedangkan kita diharuskan mengikuti yang pasti (yakin), masalahnya tidak demikian sebab Al-Quran sendiri meskipun kebenaranya sudah diyakini sebagai Kalamullah tidak semua ayat memberi petunjuk hukum yang pasti sebab banyak ayat yang pengertiannya masih dhanni (dhanni Ad-dalalah). Bahkan orang yang memakai pengertian ayat seperti ini juga tidak dapat meyakinkan bahwa pengertian itu bersifat pasti (yakin). Dengan demikian berarti ia juga tetap mengikuti pengertian ayat yang masih bersifat dugaan kuat (dhanni Ad-dalalah). Adapun firman Allah SWT, [25]
“dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan (Q.S. Yunus Ayat 36)”.
Yang dimaksut dengan kebenaran (Al Haq) disini adalah masalah yang sudah tetap dan pasti. Jadi maksut ayat ini adalah bahwa dhanni tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap dengan pasti, sedangkan dalam hal menerima hadist, masalahnya tidak demikian.[26]
2.       Bantahan terhadap argumen kedua dan ketiga
Kelompok pengingkar sunnah baik masa lalu maupun sekarang, kekurangan waktu mempelajari Al-Quran. Hal itu karena mereka kebanyakan memakai dalil
“........dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Q.S. An Nahl Ayat 89)”.
Padahal dalam Surat An Nahl Ayat 44 Allah berfirman,
“....... dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An Nahl Ayat 44)”.[27]
Apabila Allah sendiri yangmenurunkan Al-Quran membebankan kepada Nabi-Nya agar ia menerangkan isi Al-Quran, dapatkah dibenarkan seorang muslim menolak keterangan atau penjelasan tentang isi Al-Quran tersebut, dan memakai Al-Quran sesuai pemahaman sendiri seraya tidak mau memakai penjelasan-penjelasan yang berasal dari Nabi SAW. Apakah ini tidak berarti percaya kepada sejumlah ayat Al-Quran dan tidak percaya kepada Ayat-ayat lain, Allah SWT berfirman,
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (Q.S. Al-Bagarah Ayat 85)”.[28]
Sedangkan Argumen mereka dengan Surat Al-An’am Ayat 38
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-Quran), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.
Hal itu tidak pada tempatnya sebab Allah juga menyuruh kita untuk memakai apa yang disampaikan Nabi SAW. Seperti dalam Firman-Nya,
“........apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah........(Q.S. Al Hasyir Ayat 7)”
Allah juga berfirman,
“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata (Q.S Al Ahzab Ayat 36)”.[29]
Berdasarkan teks Al-Quran, Rasulullah SAW sajalah yang diberi tugas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an, sedangkan kita diwajibkan untuk menerima dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau baik berupa perintah atau larangan.[30]














[1] Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag, 2008. Ulumul Hadist,  Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 27
[2] Ibid. Hal. 28.
[3] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus  Suyadi, Lc. M. Ag, 2009. Ulumul Hadist, Badung:        Pustaka Setia. Hal. 207.
[4] Ibid. Hal. 208
[5] Abdul Majid Khon. Op Cit. Hal. 28-29
1
[6] Ibid.
[7] Ibid. Hal 29-30
[8] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus  Suyadi, Lc. M. Ag. Op Cit. Hal. 208
2
[9] Abdul Majid Khon. Op Cit. Hal. 30
[10] Ibid.
[11] Ibid. Hal. 31
[12] Ibid. Hal. 31-32
3
[13] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus  Suyadi, Lc. M. Ag. Op Cit. Hal. 214
[14] Ibid. Hal. 215
[15]Abdul Majid Khon. Op Cit. Hal. 33
[16] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus  Suyadi, Lc. M. Ag. Op Cit. Hal. 215
[17] Ibit. Hal 215-216
4
[18] Abdul Majid Khon. Op Cit. Hal. 33
[19] Ibid
[20] Ibid. Hal. 34
5
[21] Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag dan Agus  Suyadi, Lc. M. Ag. Op Cit. Hal. 219
[22] Ibid. Hal. 220
6
[23] Ibid. Hal. 220
[24] Ibid Hal 221
7
[25] Ibid. Hal 222
[26] Ibid
8
[27] Ibid Hal 24
[28] Ibid
9
[29] Ibid Hal. 224-225
[30] Ibid.
10

0 komentar: