MAKALAH ULUMUL QUR’AN II Tentang NASIKH DAN
MANSUKH
Oleh : Witry Yulia
STAI-YDI LUBUK
SIKAPING
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara terminologi nasikh adalah
raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan hukum syara
dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i (menghapus
hukum syara dengan dalil syara lain). Sedangkan mansukh adalah hukum yang di
angkat. Selain itu nasikh jug mempunyai
rukun dan syarat.
Manna’Al-Qathathan menetapkan
tiga dasar untuk menegaskan bahaw suatu ayat dikatakan bahwa nasikh (menghapus)
ayat lain mansukh (dihapus).
Berdasarkan kejelasan dan
cakupannya, naskh dalam Al-quran dibagi menjadi empat macam yaitu Naskh sharih,
Naskh dhimmy, Naskh kully, Naskh juz'iy. Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya,
mayoritas ulama membagi naskh kepada tiga macam yaitu Penghapusan terhadap
hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Penghapusan terhadap
hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Penghapusan terhadap bacaannya
saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Sedangkan dari sisi otoritas mana yang
lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh ke dalam empal
macam. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran, Naskh Al-Quran dengan As-sunnah, Naskir As-Sunnah
dengan Al-Quran, dan Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah.
B.
TUJUAN
2.
Mengetahui rukun dan
syarat nasikh.
3.
Mengetahui dasar-dasar
penetapan Nasikh danMansukh.
4. Mengetahui
Bentuk-bentuk dan macam-macam Nasikh dalam Al-Quran.
5.
Mengetahui hikmah
keberadaan Nasikh.
BAB II
NASIKH DAN MANSUKH
A.
PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH
Secara lughawi, ada empat makna
nasikh yang sering diungkapkan ulama, yaitu :[1]
1.
Izalah (menghilangkan)
2.
Tabdil (penggantian)
3.
Tahwil (memalingkan)
4.
Naql (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain)
Secara terminologi nasikh adalah
raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan hukum syara
dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i (menghapus
hukum syara dengan dalil syara lain).[2]
Sedangkan mansukh adalah hukum yang di angkat.[3]
Dari definisi-definisi yang ada,
para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa nasikh bisa dibenarkan bila memenuhi
kriteria berikut :[4]
1.
Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum
dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus).
2.
Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3.
Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
B.
RUKUN DAN SYARAT NASIKH
Rukun nasikh :[5]
1.
Adat nasikh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum
yang telah ada.
2.
Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia lah yang membuat hukum dan
Dia pulalah yang menghapus.
3.
Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.
Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat nasikh
adalah sebagai berikut :[6]
1.
Yang batalkan adalah hukum syara’
2.
Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
3.
Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan
hukum.
4.
Tuntutan yang mengandung nasikh harus datang kemudian.
Dengan demikian ada dua yang
tidak menerima nasikh yaitu:[7]
1.
Seluruh khabar/aqidah baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebab
pembatalan khabar bearti mendustakan khabar itu sendiri sedangkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah mustahil memuat kebohongan.
2.
Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi.
C.
DASAR-DASAR PENETAPAN NASIKH DAN MANSUKH
Manna’Al-Qathathan menetapkan
tiga dasar untuk menegaskan bahaw suatu ayat dikatakan bahwa nasikh (menghapus)
ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah:[8]
1.
Melalui pentransmisian yang jelas dari nabi dan para sahabat, seperti
hadis: “Kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al- qubur ala fa zuruha” (Aku (dulu)
melarang kalian ziarah kubur, sekarang berziarahlah.
2.
Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.
Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut
nasikh, dan mana yang duluan turun disebut mansukh.
D.
BENTUK-BENTUK DAN MACAM-MACAM NASIKH DALAM AL-QURAN
Berdasarkan kejelasan dan
cakupannya, nasikh dalam Al-quran dibagi menjadi empat macam yaitu:[9]
1.
Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat
pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat
Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:
Artinya: Hai nabi, Kobarkanlah
semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan
jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan
seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti.
Ayat ini, menurut jumhur ulama dinasikh
oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat
66 dalam surat yang sama:
Artinya: Sekarang Allah Telah
meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka
jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang
sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin
Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
2.
Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan
dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama,
serta kedua-keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian
menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan
berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 180:
Artinya: Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Ayat ini, menurut pendukung teori
naskh di-naskh oleh hadis Ia washiyyah li waris (Tidak ada wasiat bagi ahli
waris).
3.
Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya,
ketentuan 'iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234.
Artinya: Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah : 234)
Dinasikh oleh ketentuan 'iddah
satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
Artinya: Dan orang-orang yang
akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah
berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
4.
Nasikh juz'iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua
individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus
hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera
80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita
Tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4.
Artinya: Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Dihapus oleh ketentuan lain,
yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang
tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Artinya: Dan orang-orang yang
menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang
benar.
Dilihat dari segi bacaan dan
hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga macam yaitu:[10]
1.
Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak
dibenarkan diamalkan.
2.
Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat
lslam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan
ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan
dalam surat Al-Kafirun ayat 6:
Artinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku."
3.
Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang
ayat Al-Quran. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaannya, sementara hukumnya telap
berlaku itu adalah:
Artinya: “Jika seorang pria tua
dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya...”
Adapun dari sisi otoritas mana
yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam
empat macam:[11]
1.
Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran
2.
Nasikh Al-Quran dengan As-sunnah.
3.
Nasikh As-Sunnah dengan Al-Quran.
4.
Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah.
E.
HIKMAH KEBERADAAN NASIKH
Menurut Manna'Al-Qaththan
terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh, yaitu:[12]
1.
Menjaga kemaslahatan hamba.
2.
Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan
seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisimanusia itu sendiri.
3.
Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang
kemudian dihapus.
4.
Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan
nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi
pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah
daripada ketentuan mansukh,itu berarti kemudahan bagi umat.
BAB III
KESIMPULAN
Secara terminologi nasikh adalah
raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan hukum syara
dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i (menghapus
hukum syara dengan dalil syara lain). Sedangkan mansukh adalah hukum yang di
angkat.
Rukun Nasikh ada empat yaitu:
Adat Nasikh, Nasikh, Mnasukh dan Mansukh ‘anh. Syarat Nasikh yaitu:
yangdibatalkan adalah hukum syara’, pembatalan itu datang dari tuntutan syara’,
Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu, Tuntutan yang
mengandung nasikh harus datang kemudian. Selain yang disebutkan di atas di
dalam nasikh dan mansukh terdapat dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh,
bentuk-bentuk dan macam-macam nasikh dalam Al-Qur’an dan hikmah keberadaan
nasikh.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar. R. 2007. Ulum Al-Qur’an. CV.
Pustaka Setia. Bandung.
Anwar. A. 2002. Ulumul Qur’an. Amzah.
Pekanbaru.
Syadali. A, Rofi’i. A. 1997. Ulumul
Qur’an I. CV. Pustaka Setia. Bandung.
[1] DR. Rosihon
Anwar, M. Ag, 2007, Ulum Qur’an, CV. Pustaka Setia, Badung, hal:164
[2] Ibid, hal:165
[3] Drs. H. Ahmad
Syadali, M.A, Drs. H. Ahmad Rfi’i, 1997, Ulumul Qur’an I, CV. Pustaka Setia,
Bandung, Hal:158
[4] DR. Rosihon
Anwar, M. Ag, Loc cit, hal:165
[5] Ibid, hal:165-166
[6] Ibid, hal:166
[7] DR. Rosihon
Anwar, M. Ag, Op cit, hal:166
[8] Ibid, hal:168
[9]
Ibid,
hal:173-175
[10] Ibid,hal:175-177
[11] Ibid, hal:177-178
[12] Ibid, hal:179
0 komentar:
Posting Komentar