BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 19 September 2013

MAKALAH ULUMUL QUR’AN II Tentang NASIKH DAN MANSUKH



MAKALAH ULUMUL QUR’AN II Tentang NASIKH DAN MANSUKH

Oleh : Witry Yulia
STAI-YDI LUBUK SIKAPING

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Secara terminologi nasikh adalah raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i (menghapus hukum syara dengan dalil syara lain). Sedangkan mansukh adalah hukum yang di angkat. Selain itu  nasikh jug mempunyai rukun dan syarat.
Manna’Al-Qathathan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahaw suatu ayat dikatakan bahwa nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus).
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-quran dibagi menjadi empat macam yaitu Naskh sharih, Naskh dhimmy, Naskh kully, Naskh juz'iy. Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh kepada tiga macam yaitu Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Sedangkan dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh ke dalam empal macam. Naskh Al-Quran dengan Al-Quran, Naskh Al-Quran dengan As-sunnah, Naskir As-Sunnah dengan Al-Quran, dan Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah.

B.     TUJUAN
1.      Mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh.
2.      Mengetahui rukun dan syarat nasikh.
3.      Mengetahui dasar-dasar penetapan Nasikh danMansukh.
4.      Mengetahui Bentuk-bentuk dan macam-macam Nasikh dalam Al-Quran.
5.      Mengetahui hikmah keberadaan Nasikh.




BAB II
NASIKH DAN MANSUKH

A.      PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH
Secara lughawi, ada empat makna nasikh yang sering diungkapkan ulama, yaitu :[1]
1.    Izalah (menghilangkan)
2.    Tabdil (penggantian)
3.    Tahwil (memalingkan)
4.    Naql (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain)
Secara terminologi nasikh adalah raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i (menghapus hukum syara dengan dalil syara lain).[2] Sedangkan mansukh adalah hukum yang di angkat.[3]
Dari definisi-definisi yang ada, para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa nasikh bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut :[4]
1.    Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus).
2.    Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3.    Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.

B.       RUKUN DAN SYARAT NASIKH
Rukun nasikh :[5]
1.    Adat nasikh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.    Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapus.
3.    Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.    Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat nasikh adalah sebagai berikut :[6]
1.    Yang batalkan adalah hukum syara’
2.    Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
3.    Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
4.    Tuntutan yang mengandung nasikh harus datang kemudian.
Dengan demikian ada dua yang tidak menerima nasikh yaitu:[7]
1.    Seluruh khabar/aqidah baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebab pembatalan khabar bearti mendustakan khabar itu sendiri sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah mustahil memuat kebohongan.
2.    Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi.

C.      DASAR-DASAR PENETAPAN NASIKH DAN MANSUKH
Manna’Al-Qathathan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahaw suatu ayat dikatakan bahwa nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah:[8]
1.    Melalui pentransmisian yang jelas dari nabi dan para sahabat, seperti hadis: “Kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al- qubur ala fa zuruha” (Aku (dulu) melarang kalian ziarah kubur, sekarang berziarahlah.
2.    Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.    Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun disebut mansukh.

D.      BENTUK-BENTUK DAN MACAM-MACAM NASIKH DALAM AL-QURAN
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-quran dibagi menjadi empat macam yaitu:[9]
1.    Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:
Artinya: Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.
Ayat ini, menurut jumhur ulama dinasikh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
Artinya: Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
2.    Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 180:
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Ayat ini, menurut pendukung teori naskh di-naskh oleh hadis Ia washiyyah li waris (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3.    Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan 'iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234.
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah : 234)
Dinasikh oleh ketentuan 'iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
Artinya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
4.    Nasikh juz'iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita
Tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4.
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Dihapus oleh ketentuan lain, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga macam yaitu:[10]
1.    Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
2.    Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat lslam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat Al-Kafirun ayat 6:
Artinya:  Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
3.    Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Quran. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaannya, sementara hukumnya telap berlaku itu adalah:

Artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya...”


Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:[11]
1.    Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran
2.    Nasikh Al-Quran dengan As-sunnah.
3.    Nasikh As-Sunnah dengan Al-Quran.
4.    Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah.

E.       HIKMAH KEBERADAAN NASIKH
Menurut Manna'Al-Qaththan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh, yaitu:[12]
1.    Menjaga kemaslahatan hamba.
2.    Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisimanusia itu sendiri.
3.    Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
4.    Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh,itu berarti kemudahan bagi umat.




BAB III
KESIMPULAN

Secara terminologi nasikh adalah raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan kitab syara pula) atau ‘raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i (menghapus hukum syara dengan dalil syara lain). Sedangkan mansukh adalah hukum yang di angkat.
Rukun Nasikh ada empat yaitu: Adat Nasikh, Nasikh, Mnasukh dan Mansukh ‘anh. Syarat Nasikh yaitu: yangdibatalkan adalah hukum syara’, pembatalan itu datang dari tuntutan syara’, Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu, Tuntutan yang mengandung nasikh harus datang kemudian. Selain yang disebutkan di atas di dalam nasikh dan mansukh terdapat dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh, bentuk-bentuk dan macam-macam nasikh dalam Al-Qur’an dan hikmah keberadaan nasikh.









DAFTAR PUSTAKA
Anwar. R. 2007. Ulum Al-Qur’an. CV. Pustaka Setia. Bandung.
Anwar. A. 2002. Ulumul Qur’an. Amzah. Pekanbaru. 
Syadali. A, Rofi’i. A. 1997. Ulumul Qur’an I. CV. Pustaka Setia. Bandung.






[1] DR. Rosihon Anwar, M. Ag, 2007, Ulum Qur’an, CV. Pustaka Setia, Badung,  hal:164
[2] Ibid, hal:165
[3] Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, Drs. H. Ahmad Rfi’i, 1997, Ulumul Qur’an I, CV. Pustaka Setia, Bandung, Hal:158
[4] DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Loc cit, hal:165
[5] Ibid, hal:165-166
[6] Ibid,  hal:166
[7] DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Op cit, hal:166
[8] Ibid, hal:168
[9] Ibid, hal:173-175
[10] Ibid,hal:175-177
[11] Ibid, hal:177-178
[12] Ibid, hal:179

0 komentar: