MAKALAH
ULUMUL QUR’AN I Tentang MUNASABAH AL-QUR’AN
Oleh : Witry Yulia
STAI LUBUK SIKAPING
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji
hanya bagi Allah seru sekian alam. Shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan
kepada Rasulullah Rahmat bagi alam semesta, para sahabat, keluarga dan umatnya.
Makalah ini berjudul
Munasabah Al-qur’an. Di dalamnya disajikan dari bab I sampai bab III. Bab I
yaitu pendahuluan di dalamnya latar belakang, mengambarkan secara umum makalah
ini dan tujuan adalah menjelaskan keinginan yang akan dicapai dalam penulisan
makalah ini. Untuk Bab II yaitu membahas tentang Munasabah Al-qur’an secara
detail, untuk kesimpulan pada makalah ini disajikan pada Bab III yaitu
menyimpulkan isi dari makalah ini dan menjawab tujuan.
Makalah Munasabah
Al-qur’an ini semoga bermamfaat, terutama bagi penulis dan pembaca pada
umumnya.
Lubuk Sikaping, 20 Maret 2012
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Beberapa ahli berbeda dalam
mengartikan munasabah namun intinya adalah berarti menjelaskan korelasi makna
antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus,
rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau korelasi
berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
Dalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat
delapan macam munasabah, yaitu:
1.
Munanbah antar surat dengan surat sebelumnya. As-Suyuthi menyimpulkan bahwa
munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau
menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya.
2. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya.
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada
namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan
surat Al-Jinn.
3. Munasabah antar bagian suatu ayat. Munasabah
antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan)
seperti terlihat dalam surat Al-Hadid ayat 4
4.
Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan. Munasabah antar ayat yang
letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak
jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya rnenggunakan
pola ta'kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).
5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat
dan kelompok ayat di sampingnya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai
ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi
Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa.
6. Munasabah antar fashilah (pemisah)
dan isi ayat. Macam munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di
antaranya adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu
ayat.
7. Munasabah antar awal surat dengan
akhir surat yang sama.
8. Munasbah antar-penutup suatu surat dengan
awal surat berikutnya.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan dan Abu
Ja'far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabahnya, mengatakan, "Tertib ayat-ayat di
dalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya,
tanpa dipersilisihkan kaum muslimin." As-suyuthi memastikan hal itu,
katanya, "Ijma' dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu
adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi." Jibril menurunkan beberapa ayat
kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu harus
diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah
memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut.
Beliau bersabda kepada mereka, "Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang
di dalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat
anu. Susunan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan
para sahabat kepada kita.
Para ulama bersepakat bahwa Al Quran
ini mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda,
sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak
perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat
lainnya sudah bisa mewakilinya.
B.
Tujuan
1.
Mengetahui
Pengertian dan macam-macam munasabah Al-qur’an
2.
Mengetahui Tertib ayat dan surat
3.
Mengetahui urgensi mempelajari munasabah Al-qur’an.
BAB II
MUNASABAH
AL-QUR’AN
A. Pengertian
Munasabah
Kata munasabah secara etimologi,
menurut As-Suyuthi bearti Al- musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Az-Zarkaysi
memberi contoh sebagai berikut : fulan yunabsi fulan, bearti si A mempunyai
hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Istilah munasabah digunakan dalam
‘illat dalam bab qiyas dan bearti Al-wasf Al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang
berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah di ungkapkan juga dengan kata rabth (pertalian).
Menurut perngertian terminologi,
munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut :
1.
Menurut Az-Zarkasyi :
Artinya : Munasabah adalah suatu hal
yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan
menerimanya.
2.
Menurut Manna’ Al-Qathhthan :
Artinya : Munasabah adalah sisi
keterikatan antara beberapa ungkapan dalam sau ayat atau antara ayat pada beberapa ayat, atau
antar surat (di dalam Al-qur’an).
3.
Menurut Ibn Al-‘Arabi :
Artinya : Munasabah adalah keterikatan
ayat-ayat Al-qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai
kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakn ilmu yang sangat
agung.
4.
Menurut Al-Biqa’i :
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui
alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagiab Al-qur’an, baik ayat dengan
ayat atau surat dengan surat.
Jadi munasabah berarti menjelaskan korelasi
makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu bersifat umum atau
khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif (khayali), atau
korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan, dan perlawanan.
B. Macam-Macam
Munasabah
Dalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat
delapan macam munasabah, yaitu:
1. Munanbah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi
menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi
menerangkan atau menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya. sebagai contoh,
dalam surat Al-Fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulilah. ungkapan ini
berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186:
Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya
Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku. ( QS. Al-Baqarah ayat
152).
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah ayat 186).
Ungkapan
" rabb al-alamin" dalam surat Al- Fatihah berkorelasi dengan surat
Al-Baqarah ayat 21-22:
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah ayat 21)
Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah ayat 22).
Di dalam
surat Al-Baqarah ditegaskan ungkapan "dzalik Al-kitab la raiba fih".
Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Ali ‘lmran ayat 3:
Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al
Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan
sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali 'lmran : 3)
Demikian
pula, apa yang oleh surat Al-Baqarah diungkapkan secara global, yaitu ungkapan wa
ma unzila min qablik, dirinci lebih jauh oleh surat Ali 'lmran ayat 3:
Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran)
kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya
dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali
'lmran : 3).
Berkaitan
dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr Abu
Zaid. la menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat
Al-Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan. Sementara
hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan
stilistika-kebahasaan ini tercermin dalam kenyataan bahwa surat Al-Fatihah
diakhiri dengan doa: lhdina Ashshirath Al-mustaqim, shirath Al-ladzina an'amta
alaihim ghair Al-maghdhubi'alaihim wa la adh-dhallin. Doa ini mendapatkan
jawabannya dalam permulaan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu
la raiba fihi hudan li Al-muttaqin. Atas dasar ini, kita menyimpulkan bahwa
teks tersebut berkesinambungan: "Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah
(petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus
yang Engkau minta itu adalah Al-Kitabin"
Jika kaitan
antara surat Al-Fatihah dan suratAl-Baqarah merupakan kaitan stilistika,
hubungan antara surat Al-Baqarah dengan surat Ali' lmran lebih mirip dengan
hubungan antara "dalil" dengan "keraguan-keraguan akan
dalil". Maksudnya, surat Al-Baqarah merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai
hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara Surat Ali lmran
"sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh”. Kaitan antara surat
Al-Baqarah dan surat Ali 'lmran merupakan kaitan yang didasarkan pada semacam
ta'wil (interpretasi) yang membatasi kandungan Surat Ali'lmran pada ayat
ketujuh saja.
2. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat
mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya
masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan surat
Al-Jinn. Lihatlah firman Allah surat Al-Baqarah : 67-71:
Artinya
: Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata:
"Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: "Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang
jahil". Mereka menjawab: "
mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami, sapi
betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda,
pertengahan antara itu, Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia
menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang
kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang
memandangnya." Mereka berkata:
"Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami
bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar
bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk
memperoleh sapi itu)." Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak
tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada
belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan
hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan
hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (QS. Al-Baqarah : 67-71).
Cerita
tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas merupakan inti
pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan
perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan
kepada hari kemudian.
3.
Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah
antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan)
seperti terlihat dalam surat Al-Hadid ayat 4:
Artinya
: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia
bersemayam di atas arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa
yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid ayat 4).
Antara kala "yaliju”(masuk) dengan kata "yakhruju (keluar), serta
kata "yanzilu (turun) dengan kata"ya'ruju”(naik) terdapat korelasi pertawanan. Contoh lainnya
adalah kata"Al-'adzab' dan Ar-rahmah" dan janji baik setelah ancaman. Munasabah seperti ini dapat dijumpai
dalam suratAl-Baqarah, An-Nisa dan surat Al-Mai'dah.
4. Munasabah antarayat
yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat
yang terlihat dengan jelas umumnya rnenggunakan pola ta'kid (penguat), tafsir (penjelas),
i’tiradh (bantahan), dan tasydid
(penegasan). Munasabah antar ayat yang menggunaan pola ta'kid yaitu apabila salah
satu ayal atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak
di sampingnya. Contoh firman Allah:
Artinya
: Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-Fatihah : 1-2).
Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir,
apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau
bagian ayat di sampingnya. Contoh firman Allah :
Artinya
: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. (Qs.
Al-Baqarah : 2-3).
Makna
"muttaqin" pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan
demiklan, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-halyang gaib,
mengerjakan shalat, dan selerusnya.
Munasabah
antara ayat menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih
tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan
kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contohnya firman
Allah pada surat An-Nahl ayat 57:
Artinya
: Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang
untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak
laki-laki). (QS. An-Nahl ayat 57).
Kala
"subhanahu" pada ayat di atas merupakan bentuk i'tiradh dari dua ayat
yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir
yang menetapkan anak perempuan bagi Allah. Adapun munasabah antar ayat
menggunakan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti
ayat yang terletak di sampingnya. Contohnya firman Allah dalam surat Al-Fatihah
ayat 6-7:
Artinya
: Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau
beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 6-7).
Ungkapan “Ash-shirath
Al-mustaqim"pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan “Shirathalladzina...”.
Antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan
huruf athaf (langsung) dan terkadang tidak diperkuat olehnya (tidak langsung).
Munasabah
antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qara'in ma'nawiyyah (hubungan
makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah: At-tanzir (perbandingan), Al-mudhadat
(perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan At-takhallush
(perpindahan).
Munasabah
yang berpolakan At-tanzir rerlihat pada adanya perbandingan antara ayat-ayat
yang berdampingan. Contohnya firman Allah pada surat Al-Anfal ayat 4-5:
Artinya
: Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki
(nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan
kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu
tidak menyukainya. (QS. Al-Anfal: 4-5).
Pada ayat
kelima, Allah memerintrahkan kepada RasulNya agar terus melaksanakan
perintah-Nya meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Sementara, pada ayat
keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari rumah untuk berperang.
Munasabah antarkedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara
ketidaksukaan para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan Rasul dan
ketidaksukaan mereka untuk berperang. Padahal, sudah jelas bahwa dalam kedua
perbuatan itu terdapat keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan lslam.
Munasabah
yang berpolakan Al-mudhadaf terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu
ayat makna yang lain yang berdampingan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 6,
misalnya, terdapat ungkapan:
Artinya
: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan
atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS.
Al-Baqarah : 6).
Ayat ini
bebicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap peringatan,
sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak-watak orang mukmin.
Munasabah
yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari
suatu ayat. Misalnya dalam surat Al-A’raaf ayat 26 diungkapkan:
Artinya
: Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk
menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah
yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-A’raaf ayat 26).
Ayat ini,
menurut Az-Zamakhsyari, datang setelah pembicaraan tentang terbukanya aurat
Adam-Hawa dan menutupnya dengan daun. Hubungan ini dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia Allah, telanjang dan
terbuka aurat merupakan suatu perbuatan yang hina, dan menutupnya merupakan
bagian yang besardari takwa.
Selanjutya,
pola muhasabah takhallush terlihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada
maksud tertentu secara halus. Misalnya, dalam surat Al-Araf, mula-mula Allah
berbicaara tentang para Nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan
para pengikutya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.
5.
Munasabah antar-suatu kelompok ayat
dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang
kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok
ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka
yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
6.
Munasabah antar fashilah (pemisah) dan
isi ayat
Macam
munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk
menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnnya, dalam
surat Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:
Artinya
: Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah
menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah Maha Kuat
lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab : 25).
Dalam ayat
ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan, bukan karena
lemah, melainkan karenaAllah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya fashilah diantara
kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut
menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lain dari fashilah, adalah memberi
penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenamya, makna ayat sudah
jelas. Misalnya dalam surat An-Naml ayat 80:
Artinya
: Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan
(Tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila
mereka Telah berpaling membelakang. (QS. An-Naml ayat 80).
Kalimat “idza
wallau mudbirin" merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.
7.
Munasabah antar awal surat dengan
akhir surat yang sama
Tentang
munasabah semacam ini, As-suyuthi telah mengarang sebuah buku yang berjudul Marasid
Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqati ‘wa Al-Mathali’. Contoh munasabah ini terdapat
dalam surat Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa
dalam berhadapan dengan kekejaman Firaun. Atas perintah dan pertolonganAllah,
Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat Allah
menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya
dan janji Allah atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal surat dikemukakan
bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak
dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
8.
Munasbah
antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Jika diperhatikan
pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir surat
sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan
surat Al-Hadid dimulai dengan tasbih:
Artinya
: Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Hadid Ayat 1).
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya.
Al-Waqiah yang memerintahkan bertasbih:
Artinya
: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar (QS.
AL-Waqiah Ayat 96).
Kemudian, permulaan surat Al-Baqarah:
Artinya
: Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah ayat 1-2).
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat Al-Fatihah
Artinya
: (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah
ayat 7).
C. Tertib
Ayat Dan Surat
Tertib
Ayat
Al-Qur'an terdiri atas surat-surat dan
ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Adapun ayat, ia adalah sejumlah
kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat Al-Qur'an. sedangkan surat adalah
sejumlah ayat Al-Qur'an yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Penempatan
secara tertib urutan ayat-ayat Al-Qur'an ini adalah bersifat tauqifi, berdasarkan
ketentuan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan dan Abu
Ja'far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabah-nya, mengatakan, "Tertib ayat-ayat
di dalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas
perintahnya, tanpa dipersilisihkan kaum muslimin." As-suyuthi memastikan
hal itu, katanya, "Ijma' dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib
ayat-ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi." Jibril menurunkan
beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu
harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah
memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut.
Beliau bersabda kepada mereka, "Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang
di dalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat
anu. Susunan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan
para sahabat kepada kita.
Utsman bin Abi Al-'Ash berkata,
"Aku tengah duduk di samping Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian
katanya; Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan
ayat ini di tempat anu dari surat ini, 'Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan serta bersedekah kepada kaum kerabat."
(An-Nahl: 90)
Ketika pengumpulan Al-Qur'an, Utsman
selalu berada di tempat setiap kali suatu ayat atau surat akan diletakkan di
dalam mushaf, sekalipun ayat itu telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini
menunjukkan, penulisan ayat dengan tertib seperti itu adalah tauqifi.
Kata Ibnu Az-Zubair,'Aku mengatakan
kepada Utsman bahwa ayat; 'Dan orang orang yang meninggal dunia di antara kamu
dengan meninggalkan istri istri...'(Al-Baqarah: 234) telah dimansukh oleh ayat yang
lain. Tetapi, mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan? Ia
menjawab, "wahai putra saudaraku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari
tempatnya'.
Terdapat sejumlah hadits yang
menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surat-surat tertentu. Ini menunjukkan
bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika susunannya dapat diubah,
tentulah ayat ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda'dalam
hadits marfu'. "Barang siapa yang hafal sepuluh ayat dari awal surat
Al-Kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.
Juga terdapat hadits-hadits lain yang
menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya. Umar berkata, "Aku tidak
menanyakan kepada Nabi tentang sesuatu lebih banyak dari yang aku tanyakan
kepada beliau tentang kalalah (orang yang meninggal, tetapi tidak mempunyai
anak dan orang tua), sampai Nabi menekankan jarinya ke dadaku dan
mengatakan,'Tidak cukupkah bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, yang
terdapat di akhir surat An-Nisaa?.
Disamping itu, banyak juga riwayat
yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca sejumlah
surat dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau dalam Khutbah Jum'at,
seperti surat Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisaa'. Juga diriwayatkan secara
shahih, bahwa Rasulullah membaca surat Al-A'raf dalam shalat maghrib. Beliau juga
membaca surat AIif Lam Mim Tanzil (As-Sajdah) dan Hal ata'alal insan (Ad-Dahr)
dalam shalat subuh di hari Jum'at. Beliau pun membaca surat Qaf pada waktu
khutbah; surat Al-Jumu'ah dan surat Al-Munafiqun dalam shalat Jum'at.
Jibril senantiasa mengujikan Al-Qur'an
yang telah disampaikannya kepada Rasulullah setiap tahun sekali pada bulan
Ramadhan, dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan
pengulangan jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur'an
seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa
diragukan lagi. Para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda
dengan yang mereka dengar dari Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti
demikian kepada tingkat mutawatir.
Tertib
Surat
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib
surat-surat Al-Qur'an yang ada sekarang.
1.
Ada yang berpendapat bahwa tertib
surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan
Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikian, Al-Qulan pada
masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya,
seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsman yang
tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma'
atas susunan surat yang ada, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Kelompok ini berdalil bahwa Rasulullah
telah membaca beberapa surat secara tertib di dalam shalatnya. Ibnu Abi syaibah
meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat mufashshal (surat-surat
pendek) dalam satu rakaat. Al-Bukhari meriwayatkan dari lbnu Mas'ud katanya,
"Surat Bani Israil, Al-Kahfi, Maryam, Thaha dan Al-Anbiya' termasuk yang
diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari.' Kemudian ia
menyebutkan surat-surat itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti
sekarang ini.
Juga Ibnu Wahab meriwayatkan dari
Sulaiman bin Bilal, ia berkata Aku mendengar Rabi'ah ditanya orang,
"Mengapa surat Al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan, padahal sebelum surat
itu diturunkan sudah ada delapan puluh sekian surat Makiyyah, sedang keduanya
diturunkan di Madinah?" Ia menjawab, "Kedua surat itu memang
didahulukan dan Al-Qur'an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya."
Kemudian katanya, "Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu
dipertanyakan.
Ibnul Hashshar mengatakan,
"Tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya masing-masing itu
berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan, "Letakkanlah ayat ini di tempat
ini." Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang mutawatir dengan
tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma' para sahabat untuk
meletakkan atau menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.
2.
Kelompok kedua berpedapat bahwa tertib
surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib
di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib
nuzul, yakni dimulai dengan Igra', kemudian Al-Muddatstsir, lalu Nun, Al-
Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makkiyah dan
Madaniyah.
Adapun dalam mushaf Ibnu Mas'ud, yang
pertama ditulis adalah surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisaa', lalu disusul AIi
Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay, yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah,
Al-Baqarah, An-Nisaa', lalu Ali Imran.
Ibnu Abbas menceritakan, "Aku
bertanya kepada Utsman, apakah yang mendorongmu mengambil Al-Anfal yang
termasuk kategori surat al-matsani dan Bara'ah yang termasuk mi'in untuk anda
gabungkan menjadi satu tanpa anda tuliskan bisrnillahir rahmanir rahim di
antara keduanya, anda juga meletakkannya pada as-sab'u ath-thiwal (tujuh surat
panjang)? Utsman menjawab; Telah turun kepada Rasulullah surat-surat yang
mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa
orang penulis wahyu, lalu menginstruksikan, 'Letakkanlah ayat ini pada surat yang
di dalamnya terdapat ayat anu dan anu. Surat Al-Anfal termasuk surat pertama
yang turun di Madinah sedang surat Bara'ah termasuk yang terakhir diturunkan.
Kisah dalam surat Al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat Bara'ah, sehingga
aku mengira surat Bara'ah adalah bagian dari surat Al-Anfal. Tetapi nyatanya
sampai Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam wafat tidak pernah menjelaskan
kepada kami bahwa surat Bara'ah merupakan bagian dari surat Al-Anfal. Oleh
karena itu, kedua surat tersebut aku gabungkan dan di antara keduanya tidak aku
tuliskan bismitlahir rahmanir rahim. Aku juga meletakkannya pada as -sab'u
ath-thiwal.
3.
Kelompok ketiga berpendapat, sebagian
surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para
sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat
pada masa Nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab'u ath-thiwal,
aI-hawamim dan al-mufashshal pada masa hidup Rasulullah.
Menurut Ibnu Hajar, "Tertib
sebagian surat-surat atau bahkan sebagian besarnya tidak dapat ditolak,
bersifat tauqifi. Untuk mendukung pendapatnya ini ia mengemukakan hadits
Hudzaifah Ats-Tsaqafi yang mengatakan, "Rasulullah berkata kepada kami;
'Telah datang kepadaku waktu untuk hizb (bagian) dari Al-Qur'an, maka aku tidak
ingin keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat
Rasulullah, "Bagaimana kalian membuat pembagian Qu'ran?" Mereka
menjawab; Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan
surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian al-mufashshal dari Qaf
sampai kami khatam.
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut,
"Hal ini menunjukkan, bahwa tertib surat-surat seperti terdapat dalam
mushaf sekarang adalah tertib surat pada masa Rasulullah." Dan katanya,
"Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian
mufashshal, bukan yang lain. Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah
bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surat-surat itu
berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil.
Sebab, ijtihad sebahagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus,
merupakan ikhtiar mereka sebelum Al-Qur'an dikumpulkan secara tertib. Ketika
pada masa Ustman Al-Qur'an dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surat- auratnya
pada satu dialek, umat pun sepakat, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka
ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap
berpegang pada mushafnya masing-masing.
Sementara itu pendapat ketiga, yang
menyatakan sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat
ijtihadi; dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tertib
tauqifi.Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan
tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak
berarti yang selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu, yang bersifat
demikian hanya sedikit sekali.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tertib
surat-surat itu bersifat tauqifi, seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar
bin Al-Anbari menyebutkan, "Allah telah menurunkan Al-Qur'an seluruhnya ke
langit dunia. Kemudian Ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua
puluh sekian tahun. Sebuah surat turun karena ada suatu masalah yang terjadi,
ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya. Jibril senantiasa memberitahukan
kepada Nabi dimana surat dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan
surat-surat, seperti halnya susunan ayat-ayat dan huruf-huruf Al-Qur'nn seluruhnya
berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barangsiapa mendahulukan sesuatu surat atau
mengakhirkannya, berarti ia telah merusak tatanan Al-Qur'an.
Kata Al-Kirmani dalamAl-Burhan,
'Tertib surart seperti kita kenal sekarang ini sudah menjadi ketentuan Allah
dalam Lauh Mahfuzh.. Menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril
setiap tahun. Demikian juga pada akhir hayatnya beliau membacakan di hadapan
Jibril, menurut tertib ini sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun
ialah, “Dan peliharalah dirimu pada hari di mana waktu itu kamu semua akan dikembalikan
kepada Allah.' (Al-Baqarah: 281) Lalu Jibril memerintahkan kepadanya untuk
meletakkan ayat ini di antara ayat riba dan ayat tentang utang piutang.
As-suyuthi mendukung pendapat
Al-Baihaqi yang mengatakan “Surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur'an pada masa Nabi,
telah tersusun menurut tertib ini kecuali Al-Anfal dan Bara'ah, sesuai dengan
hadits Utsman.
D. Urgensi
mempelajari munasabah Al-Qur’an
Para ulama bersepakat bahwa Al Quran
ini, yang dilurunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengandung bermacam-macam
hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang
mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena
pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan
prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada asbab
An-Nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah. Lebih jauh lagi,
kegunaan mempelajari ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Dapat rnengembangkan bagian anggapan
orang bahwa terna-tema Al-Quran kehilangan relevansi antara satu bagian dan
bagian yang lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 189:
Artinya
: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu
ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Al-Baqarah ayat 189).
Orang yang membaca ayat tersebut tentu
akan bertanya-tanya: Apakah korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan
pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan
itu, Az-Zarkasy menjelaskan:
“sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai
hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka
tinggalkan pertanyan tentang hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang engkau
anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan”
2.
Mengetahui atau persambungan/hubungan
antara bagian Al-Quran, baik antara
kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan
dan kemukjizatannya.
3.
Dapat diketahui mutu dan tingkat
ke-balaghah-an bahasa Al-Quran dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.
Dapat membantu dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran setelah diketahui hubungan
suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
BAB III
KESIMPULAN
Munasabah
berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi
itu bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau
imajinatif (khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul,
perbandingan, dan perlawanan.
Macam-macam
munasabah yaitu munasabah antar surat dengan surat sebelumnya, munasabah antar
nama surat dan tujuan turunnya, munasabah antar bagian suatu ayat, munasabah
antar ayat yang terletak berdampingan, munasabah antar suatu kelompok ayat
dengan kelompok ayat disampingnya, munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi
ayat, munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama, munasabah antar
penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Urgensi
mempelajari munasabah Al-quran yaitu dapat mengembangkan sementara anggapan
orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-quran kehilangan relevansi antara satu
bagian dengan bagian yang lainnya, mengetahui persambungan atau hubungan antara
bagian alkuran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun
surat-suratnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar R, 2007. Ulum
Al-qur’an. Pustaka Setia. Bandung
El-Masni A.R,. 2006.
Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.
0 komentar:
Posting Komentar