NASIONALISME, ETNISITAS, DAN AGAMA DI ASIA TENGGARA
Oleh : Witry Yulia
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI-YDI)
LUBUK
SIKAPING
Namun penting dicatat, pada saat Habsbawm menulis
karyanya tadi, Uni Soviet sedang Ambruk, mendorong munculnya gerakan-gerakan
nasionalisme yang amat kuat. Pada saat yang sama, negara-negara di Timur Tengah
juga mengalami gejolak nasionalisme yang lebih hebat di bandingkan masa-masa
sebelumnya. Pada saat yang sama jumlah negara-negara baru yang menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) terus bertambah sebagai akibat kristalisasi
nasionalisme.
Semua gejala ini menjelaskan bahwa nasionalisme sedang
mengalami kebangkitan kembali, khususnya di kalangan masyarakat yang berada
dalam transisi ke arah kebudayaan industrial.
Kesimpulannya, nasionalisme tetap bergelora di banyak bagian
Dunia Ketiga dan Eropa Timur. Dalam segi-segi tertentu dapat diprediksikan
bahwa kekuatan gelombangnya hampir sama dengan kebangkitan nasionalisme pada
abad ke 19. Proses globalisasi yang begitu cepat belakangan ini memang
kelihatan cendrung melenyapkan batas-batas nasionalisme, namun pada saat yang
sama, ia juga mendorong peningkatan nasionalisme yang diekspresikan dalam
berbagai cara dan medium.
NASIONALISME DAN MODERNISASI
Modernisasi dan industrialisasi
kelihatannya merupakan salah satu faktor yang penting yang bertanggung jawab
menyurutkan nasionalisme di Asia Tenggara. Namun bertolak belakang dengan
argumen Fukuyama, ideologi modersasi dan developmentalisme, secara de facto
menggantikan nasionalisme yang menjadi ideologi dominan di kawasan ini sebelum
tahun 70-an. Kebutuhan dan pertimbangan-pertimbangan pragmatis untuk mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi yang direncanakan, memaksa negara-negara Asia
Tenggara mengorbankan sentimen nasionalisme.
Mekipun demikian nasionalisme tidak sepenuhnya berakhir di
Asia Tenggara. Bahkan dengan modernisasi dan developmentalisme, kita melihat
terjadinya transisi atau pergeseran bentuk-bentuk nasionalisme. Nasionalisme
politis kecuali dalam bentuk kedaulatan dan keutuhan wilayah semakin menyurut.
Ditengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan
kultural kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi,
yang berlansung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas, mengakibatkan
negara-negara di Asia Tenggara harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk
produk-produk industri ekonomi, khususnya di negara-negara maju. Disinilah
nasionalisme ekonomi negara-negara Asia Tenggara berhadapan dengan
proteksionisme negara maju, khususnya Amerika dan Eropa.
Dipihak lain,
globalisasi informasi dan budaya yang dikendalikan negara maju semakin dirasakan mengancam budaya
negara-negara Asia Tenggara.
TIGA FASE NASIONALISME
Konsep nasinalisme di Asia Tenggara bukanlah sesuatu yang baku. Ia
merupakan konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil dialetika, baik
dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun
perubahan-perubahan pada tingkat global. Setidaknya ada tiga tahap perkembangan
nasionalisme di Asia Tenggara.
Tahan pertama pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan
nasionalisme. Fase ini ditandai penyerapan gagasan nasionalisme yang
selanjutnya di ikuti pembentukan organisasi-organisasi yang disebut benda dan
McVey sebagai protonasionalisme. Kemunculan dan pertumbuhan protonasionalisme
dalam banyak hal merupakan konsekuensi dari perubahan-perubahan cepat dan
berdampak luas yang berlansung di Asia Tenggara. Dalam periode ini, baik
kolonial Inggris di Semenanjung Malaya maupun Belanda di Indonesia
memperkenalkan politik etis yang antara lain, menghasilkan ekspansi pendidikan
bagi pribumi. Dalam bidang ekonomi, kebijaksanaa liberal mendorong pertumbuhan
sektor ekonomi modern, yang menpunyai dampak meluas terhadap ekonomi
tradisional.
Semua perubahan cepat ini menimbulkan disrupsi dalam
keseimbangan tatanan masyarakat tradisional, antara lainm mengakibatkan
terjadinya kemerosotan kepemimpinan tradisional
dan melonggarkan ikatan komunal dan etnis. Namun Anomali atau malaisme
semacam ini dikalangan masyarakat, tidak sepenuhnya negatif. Keadaan ini justru
mendorong munculnya kesadaran baru tentang dunia yang tengah berubah, dengan
tantangan baru yang membutuhkan respon baru pula.
Tema sentral yang sama di kembangkan pada fase
protonasionalisme adalah penciptaan dan
penggalangan semangat nasionalitas vis a vis penjajah. Represi dan koersi yang
dilakukan pemerintah kolonial mengakibatkan dimensi politis nasionalisme dalam
fase ini tidak bisa mekar secara sempurna. Karena itulah yang lebih menonjol
dalam pertumbuhan nasionalisme adalah penggalangan dimensi sosial dan kultural.
Bahkan organisasi-organisasi protonasionalisme yang muncul dan berkembang lebih
bersifat kultural, sosial, pendidikan dan ekonomi ketimbang politis.
Perkembangan yang sama juga bisa dilihat dalam pengalaman
semenanjung Malaya dan Selat Malaka. Liberalisasi pendidikan, khusu dalam
pembentukkan sekolah vernacular disemenanjung pada tahun 20-an dan 30-an,
berhasil memunculkan kelompok inteleginsia yang lebih radikal, dengan semangat
kultural dan kesetiaan etnis Melayu yang menyala-nyala.
Masa pendudukan jepang tahun 1940-1945 merupaka periode
katalis dalam mengakselerasikan pertumbuhan nasionalisme di Asia Tenggara.
Pendudkan Jepang otomatis memajukan tujuan-tujuan pemerintahan kolonial eropa.
Selain itu, Jepang sebagai bagian dari kebijaksanaan anti-baratnya dengan
sengaja mendorong pertumbuhan nasionalisme lokal di Asia Tenggara.
Dengan demikian, nasionalisme di Asia Tenggara segera
memasuki fase kedua. Dalam fase ini nasionalisme sangat sarat dengan muatan
politis ketimbang sosial dan kultural. Tema pokok nasionalisme di sini adalah
apa yang disebut pemimpin nasionalisme yakini memupuk keutuhan integritas
negara dan bangsa yang akan segera terwujud, pembinaan nasionalisme dalam
kontek ini sesuia dengan kebijakan jepang, bertujuan mencegah dengan cara
apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme eropa.
Sementara itu, di Indonesia pendudukan Jepang menciptakan
perkembangan-perkembangan yang tidak kalah kompleknya. Golongan nasionalisme
yang memegang kendali sejak pertumbuhan awal nasionalisme, dengan sengaja dielienasikan
oleh Jepang. Jepang lebih memberi kesempatan dan ruang gerak kepada para
pemimpin agama dan ulama. Langkah ini pada gilirannya menciptakan konflik
antara kepemimpinan nasionalis dan kepemimpinan yang berakar pada sentimen
keagamaan. Kepemimpinan agama pada akhirnya harus melakukan kompromi untuk
meratakan jalan bagi pembentukan negara kebangsaan Indonesia, dengan menerima
Pancasila sebagai ideologi nasionalisme.
Puncak nasionalisme Indonesia tercapai pada masa
Soekarno. Berkat kemampuan intelektual dan retorikanya, Presiden pertama
Indonesia ini berhasil menggelorakan nasionalisme Indonesia. Bagi Soekarno
nasionalisme merupakan konsep sentral untuk membangun Indonesia yang mandiri
dan terhormat pencaturan internasional. Ia mengutk eksklusivisme dan
chauvinisme nasionalisme Eropa, yang justru menciptakan eksploitasi terhadap
bangsa-bangsa Asia Afrika. Bagi soekarno, nasionalisme harus berdasrkan rasa
cinta kepada seluruh manusia.
Fase ketiga nasionalisme, tidak hanya di Indonesia tetapi
juga dalam kontek regional Asia Tenggara, bahkan dalam hubungannya dalm Dunia
Internasional lebih luas.
NASIONALISME, ETNISITAS DAN AGAMA
Kebangkitan nasionalisme kultural seperti yang di
singgung di atas, dalam sejumlah kasus, tumbuh berbarengan dengan peningkatan
sentimen etnisitas, bahkan sentimen keagamaan yang pada gilirannya memunculkan
nasionalisme politik yang amat kental. Seperti diungkapkan Nodia, nasionalisme
ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah politik dan sisi
lain adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik, tetapi
subtansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat
jiwa politik yang mengambil tibuhnya dalam etnisitas. Semua ini terlihat jelas
melalui latar belakang kemunculan
negara-negara di bekas Uni Soviet, Yugoslavia dll. Nasionalisme yang muncul
merupakan perpaduan sentimen etnisitas dan politik yang kemudian beramalgamsi
dengan semangat keagamaan. Hasil dari perpaduan ini adalah nasionalisme yang
sangat chauvinisme dan fascis.
Teori tentang tribalisme baru sesungguhnya tiak terlalu
baru. Konsep tentang tribalisme baru ini pertama kali dikembangkan oleh Greely
dan Novak dengan sebutan new ethnicity. Keduanya berargumen, sejak tahun 70-an
di Amerika Serikat terjadi semacam kebangkitan minat dan kesadaran etnisitas,
sehingga sebutan Amerika sebagai melting pot semakin kehilangan maknanya.
Namun, berbeda dengan tribalisme baru kontenporer yang disebut Naisbitt, Novak
melihat adanya dua elemen dasar etnisitas atau tribalisme baru yaitu sensitivitas
terhadap pluralisme etnik yang dipadukan dengan sikap respek terhadap
perbedaaan kultural antara antar berbagai kelompok etnis, dan pengujian secara
sadar terhadap warisan kultural kelompok etnis sendiri.
Sejauh mana relevansi teori Naisbitt atau Greely dan
Novak dengan pengalam Asia Tenggara? Kawasan ini tentu saja memiliki potensi
etnisitas atau tribalisme yang luar biasa besarnya. Namun harus diingat bahwa
kebangkitan tribalisme baru yang relatif modern seperti terjadi di Amerika
Serikat atau tribalisme baru primitif dibekas Yogoslavia mempunyai kontek
sosial dan historis tertentu, yang dalam banyak segi berbeda dengan Asia Tenggara.
Pengalaman historis Asia Tenggara dengan nasionalisme,
khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat komplek.
Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pengalam
historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh keberadaan
Asia Tenggara yang sangat pluralistik, baik secara etnis maupun agama. Peta
etnografi Asia Tenggara sangat komplek, antara lain sebagai hasil dari
tipografi kawasan ini, Asia Tenggara dihunin kelompok-kolompok etnis etnis
dalam jumlah besar, selain mempunyai kesamaan-kesamaan fisik-biologis, juga
memiliki perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup substansial.
Meskipun demikian dalam pertumbuhan nasionalisme di Asia
Tenggara pada umumnya, etnisitas dapat dikatakan, tidak sempat mengalami
kristalisasi menjadi dasr nasionalisme. Terdapat beberapa faktor yang
menghalangi terjadinya kristalisasi sentimen etnisitas tersebut. Yang
terpenting diantara faktro-faktor itu adalah agama dan kesadaran tentang
pengalaman kesejarahan yang sama.
Dalam kasus Indonesia, kemajemukan etnisitas besrta
potensi divisif dan konflik dengan segera dijinakkan oleh faktor islam sebagai
agama yang dipeluk mayoritas penduduk islam menjadi supra identity dan fokus
kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan demikian
kedatangan dan perkembangan islam di Indonesia tidak hanya menyatukan berbagai
kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama, tetapi juga dalam
aspek-aspek penting yang bahkan men jadi dasar nasionalisme khususnya bahasa.
Kesetiaan pada islam di Indonesia pada gilirannya
memperkuat kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini
penjajahan Belanda, engan kata lain penjajahan yang secara teologis menurut
ajaran islam adalah kafir, merupakan semacam blessing in disque. Dengan kata
lain penjajahan Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia pada
tingkat teologis keagamaan. Di sinilah sentimen etnisitas menjadi sesuatu yang
tidak relevan.
Dengan demikian, dalam kasus Indonesia islam menjadi
unsur qenuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Pada saat yang sama
islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas
kepada etisitas lebih tinggi. Kenyataan ini juga terluhat muncul Serikat Islam
(SI) yang merefleksikan nasionalisme keislaman keindonesiaan, sekaligus respon
kebangkitan nasionalisme dikalangan masyarakat Cina Hindia Belanda baik cina
keturunan maupun cina totok.
Demikianlah pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa
etnisitas tidak menjadi faktor penghambat yang signifikan dalam petumbuhan
nasionalisme Indonesia. Bahkan etnisitas cendrung kehilangan relevansinya
sebagai sebuah tema politik.
Berbeda dengan pengalaman Indonesia, hubungan etnisitas,
agama dan nasionalisme di Semenanjung Malaya lebih kental lagi. Bagi kaum
melayu, sentimen etnisitas melekat ketet dengan agama islam dan nasionalisme.
Etnis Melayu boleh dikatakan identik dengan islam. Faktor utama kenyataan ini
tentu saja adalah komposisi demografis Semenanjung yaitu puk melayu bukanlah
golongan mayoritas mutlak. Rasa terancam khususnya dari golongan Cina, sebagai kelompok etnis kedua, mengakibatkan
puak melayu harus berpegang lebih ketat kepada islam dan kemelayuan itu sendiri
sebagai pusat kesetiaan. Bagaimanapu hubungan antara etnis melayu dengan cina
dengan orientasi nasionalisme masing-masing tidak selalu mulus.Paradigma
nasionalisme yang bisa diterima kedua golongan ini berada pada pijakkan yang
cukup rapuh, khususnya karena belim terselesaikan secara tuntas persoalan
bahasa nasional, pendidikan dan peranan setiap kelompok etnis dalam negara
Malaysia.
Pengalaman
pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme di Asia Tenggara dalam hubungan
dalam etnisitas dan agama, seperti dikemukakan di atas, cukup bertolak belakang
denagn padangan Fukuyama. Fukyama benar ketika menyatakan bahwa nasionalisme
awal (tepatnya protonasinalisme) pada abab ke-16 di Eropa yang begitu kental
dengan sntimen keagamaan, hanya hasil fanatisme keagamaan dan perang agama.
Aggapan ini juga benar dalam hubungannya dengan brutalitas nasionlisme Serbia
sekarang ini. Namun dalam kasus Asia Tenggara, dalam hal ini Islam di Indonesia
dan Malaysia justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan ramah
Islam Asia Tenggara justru meransang,
menunbuhkan, dan berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme.
0 komentar:
Posting Komentar