BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 19 September 2013

PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG WAKTU MELEMPAR JUMRAH DALAM HAJI



PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG WAKTU MELEMPAR JUMRAH DALAM HAJI
Oleh : Witry Yulia
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI-YDI)
LUBUK SIKAPING



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Rukun haji ialah sesuatu yang harus dikerjakan, dan haji tidak sah tanpa rukun tersebut. Rukun tidak dapat diganti dengan dam (denda), yaitu meyembelih binatang. Wajib haji ialah sesuatu yang harus dikerjakan, dan haji tetap sah bila wajib haji itu tidak dilaksanakan dan boleh diganti dengan dam (menyembelih binatang).

Bagi setiap haji, baik haji tamattu, qiran, atau ifrad diwajibkan melempar jumrah di Mina. Jumlah jumrah tersebut sebanyak sepuluh. Pertama pada hari raya, yang dinamakan Jumratull ‘Aqabah adalah amalan haji pertama yang dilakukan di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah. Mengenai waktu melempar jumrah ‘aqabah terdapat perbedaan pendapat yaitu yang pertama melontar Jumrah Sesudah Terbit Matahari dan yang kedua melontar Jumrah Sebelum Terbit Fajar. Mengenai mabit (bermalam) di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu: pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari Tasyriq hukumnya wajib sedangkan pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari Imam Syafi’i mabit di Mina hukumnya sunat.

B.     Tujuan
Mengetahui perbedaan pendapat tentang waktu melempar jumrah dalam haji.
BAB II
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG WAKTU MELEMPAR JUMRAH
DALAM HAJI

Perkataan wajib dan rukun, biasanya mempunyai pengertian yang sama. Namun dalam ibadah haji ada perbedaan pengertian. Rukun ialah sesuatu yang harus dikerjakan dan haji tidak sah, tanpa rukun tersebut. Rukun tidak dapat diganti dengan dam (denda), yaitu meyembelih binatang. Wajib ialah sesuatu yang harus dikerjakan, dan haji tetap sah bila wajib haji itu tidak dilaksanakan dan boleh diganti dengan dam (menyembelih binatang).[1]

Melempar jumrah adalah salah satu wajib haji, yaitu melempar jumrah ‘aqabah dan melempar tiga jumrah.

A.      Melempar (Melontar) Jumrah ‘Aqabah  
Melempar jumrah ‘aqabah dilaksanakan pada hari raya haji, 10 Dzulhijjah, sebagaimana sabda Rasulullah:
Dari Jabir katanya: Saya melihat Nabi SAW, melempar jumrah dari atas kendaraan beliau pada hari raya, lalu beliau bersabda: Hendaklah kamu turuti cara ibadah sebagaimana yang saya kerjakan ini, karena sesungguhnya saya tidak mengetahui, apakah saya akan dapat mengerjakan haji lagi sesudah (haji) ini. (HR. Ahmad, Muslim dan Nasai).

Jumrah ‘aqabah disebut juga dengan jumrah al-kubra. Kemudian mengenai waktu melempar jumrah ‘aqabah terdapat perbedaan pendapat.
1.        Melontar Jumrah Sesudah Terbit Matahari
Imam  Abu Hanifah, Malik, Sufyan, dan Imam Ahmad, berpendapat, melontar jumrah ‘aqabah dilaksanakan sesudah terbit matahari. Bahkan Imam Malik menegaskan, bahwa ada orang yang melontar jumrah sebelum fajar, harus mengulangi kembali.[2] Hambali dan Imamiyah berpendapat tidak boleh melempar jumrah ‘aqabah sebelum terbit fajar tanpa ada udzur, ia harus mengulangi lagi. Tetapi mereka boleh untuk mendahulukannya bila ada udzur, seperti tidak mampu (kembali sakit dan takut).[3]

Mereka berpengangan kepada hadits Ibnu Abbbas, Rasulullah bersabda:
Janganlah kamu melontar jumrah sehingga terbit dahulu matahari. (HR. Lima orang ahli hadits).
Telah ijma’ ulama, disunatkan melontar jumrah mulai dari terbit matahari sampai zawal (lewat tengah hari). Sekiranya ada orang yang melontar jumrah sebelum terbenam matahari, dianggap telah  memadai. Namun Imam Malik mengatakan disunatkan membayar dam (menyembelih kambing).

Sekiranya ada orang yang melontar jumrah sesudah malam hari, atau keesokan harinya terdapat perbedaan pendapat:
a.                             Imam Malik mengatakan harus membayar dam.
b.    Imam  Abu Hanifah  mengatakan, bila orang itu melontar jumrah pada malam harinya, tidak usah membayar dam dan bila melontar jumrah pada keesokan harinya harus membayar dam.  
c.    Imam Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat dan murid Abu Hanifah) mengatakan, tidak usah membayar dam, walaupun melontar jumrah pada malam harinya. Mereka beralasan, bahwa Nabi memberi kelonggaran (rukhshah) bagi pengembala unta. Sekiranya ada kesulitan tentu dapat dibenarkan.[4]

2.        Melontar Jumrah Sebelum Terbit Fajar
Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat,bahwa melontar jumrah sesudah tengah malam menjelang hari raya dan lebih afdal sesudah terbit matahari. Mereka beralasan, bahwa Nabi pernah menyuruh Ummu Salamah melontar jumrah ‘aqabah sebelum terbit fajar. Demikian juga Asma’ pernah melakukan pelontaran jumrah ‘aqabah sebelum terbit fajar.[5]
Imam Thabari mengatakan, Imam Syafi’i berpegang kepada hadits Ummu Salamah dan Asma’ yang membolehkan melontar jumrah ‘aqabah pada malam hari menjelang hari raya, kemudian lasung ke Mekah untuk melakukan thawaf ifadhah (rukun haji).[6]

B.       Melempar Tiga Jumrah
Melempar tiga jumrah dilaksanakan setiap hari pada hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) sesudah zawal (tergelincir matahari), sebagaimana hadits Ibnu Abbas.

Rasulullah melontar jumrah sesudah matahari tergelincir. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).

Dengan demikian tidak boleh melepar jumrah sebelum zawal. Sesudah zawal dimulai melontar jumrah sampai menjelang matahari terbenam. Sekiranya melontar pada malam harinya, mesti diqadha menurut Malikiyah, karena keluar dari waktu yang ditetapkan. Sedangkan menurut Hanafiyah, bila melontar pada malam harinya dan sebelum terbit fajar, dibolehkan dan tidak usah membayar dam. Hanabilah berpendapat, tidak boleh melontar jumrah kecuali pada siang hari sesudah zawal. Syafiiyah berpendapat, waktu melontar dimulai dari zawal sampai terbenam matahari.[7]
Imamiyah juga berpendapat waktu melempar jumrah tersebut mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya. Kalau ia lupa ia harus melaksanakan besoknya. Kalau lupa lagi, ia harus melaksanakannya pada hari kedua belas. Dan kalaupun tidak ingat juga, maka ia harus melaksanakannya pada hari ketiga belas. Dan apabila lupa selamanya sampai keluar dari Mekkah, maka ia harus melaksanakannya pada tahun yang akan datang, baik dilakukannya sendiri, atau diwakilkan pada orang lain.[8]

C.      Hukum Mabit (Bermalam) di Mina
Mengenai mabit (bermalam) di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu:
1.    Pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari tasyriq hukumnya wajib, kecuali karena udzur syari’. Apabila sama sekali tidak mabit pada hari-hari tasyriq (11,12, dan 13 Dzulhijjah) wajib membayar dam seekor kambing.

Apabila meninggalkan mabit satu malam maka wajib membayar fidyah 1 mud (3/4 liter beras atau semacamnya), dan apabila meninggalkan mabit 2 malam (bagi yang nafar sani), maka fidyahnya2 mud.
2.    Pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari Imam Syafi’i mabit di Mina hukumnya sunat. Apabila sama sekali tidak mabit di Mina pada hari-hari tasyriq disunatkan membayar dam seekor kambing dan apabila hanya sebagian saja maka di sunatkan membayar fidyah.[9] 

D.      Syarat-syarat Melempar Jumrah
Melempar beberapa jumrah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Niat, Imamiyah mengaharuskannya.
2.    Lemparan itu harus dengan tujuh batu, secara sepakat.
3.    Lemaparan itu harus dengan batu secara satu-satu. Dan tidak boleh dua-dua, atau juga sekaligus, menurut sepakat semua ulama.
4.    Batu yang dilempar itu harus sampai ke Jumrah, yakni mencapai sasarannya, secara sepakat.
5.    Sampainya batu harus dilakukan (dengan cara) dilempar. Maka tidak cukup hanya dengan jatuh, menurut Imamiyah, Syafi’i. Tetapi menurut Hambali  dan Hanafi boleh.
6.    Yang dilempar itu harus batu. Maka tidak cukup dengan garam, besi, kuningan, bambu, dan tembikar, menurut semua ulama mazhab selain Abu Hanifah. Ia berpendapat: Setiap sesuatu yang sejenis dari tanah dibolehkan, baik tembikar, lumpur maupun batu.
7.    Batu-batu yang dilempar itu adalah batu-batu yang belum pernah dipakai untuk melempar, hal ini dijelaskan oleh Hambali, tetapi tidak disyaratkan suci dalam melempar, namun bila suci itu lebih utama.[10]
Imamiyah, batu yang akan dilempar itu disunnahkan batu yang sebesar ujung jari, dan warnanya adalah khirsy, tidak hitam, tidak putih, dan tidal merah. Mazhab yang lain disunnahkan sebesar biji kacang.

Imamiyah, bagi orang yang haji disunnahkan untuk mengerjakan semua perbuatan-perbuatan haji itu dengan menghadap kiblat, kecuali pada jumrah ‘aqabah pada hari raya. Disunnahkan pula batu bundar karena Nabi SAW melempar dengan batu bundar. Mazhab lain, bahkan disunnahkan menghadap kiblat dalam semua keadaan.[11]  

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Melempar jumrah adalah salah satu wajib haji, yaitu melempar jumrah ‘aqabah dan melempar tiga jumrah. Melempar jumrah ‘aqabah dilaksanakan pada hari raya haji, 10 Dzulhijjah. Kemudian mengenai waktu melempar jumrah ‘aqabah terdapat perbedaan pendapat. Melontar Jumrah Sesudah Terbit Matahari : Imam  Abu Hanifah, Malik, Sufyan, dan Imam Ahmad, berpendapat, melontar jumrah ‘aqabah dilaksanakan sesudah terbit matahari.Hambali dan Imamiyah berpendapat tidak boleh melempar jumrah ‘aqabah sebelum terbit fajar tanpa ada udzur.

Melontar jumrah sesudah malam hari, atau keesokan harinya terdapat perbedaan pendapat : Imam Malik mengatakan harus membayar dam, Imam  Abu Hanifah  mengatakan, bila orang itu melontar jumrah pada malam harinya, tidak usah membayar dam dan bila melontar jumrah pada keesokan harinya harus membayar dam, Imam Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat dan murid Abu Hanifah) mengatakan, tidak usah membayar dam.

Melontar Jumrah Sebelum Terbit Fajar : Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat,bahwa melontar jumrah sesudah tengah malam menjelang hari raya dan lebih afdal sesudah terbit matahari.

Melempar tiga jumrah dilaksanakan setiap hari pada hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) sesudah zawal (tergelincir matahari). Melontar pada malam harinya, mesti diqadha menurut Malikiyah. Sedangkan menurut Hanafiyah, bila melontar pada malam harinya dan sebelum terbit fajar dibolehkan. Hanabilah berpendapat, tidak boleh melontar jumrah kecuali pada siang hari sesudah zawal. Syafiiyah berpendapat, waktu melontar dimulai dari zawal sampai terbenam matahari. Imamiyah juga berpendapat waktu melempar jumrah tersebut mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya.

Mengenai mabit di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu: Pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari tasyriq hukumnya wajib. Pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari Imam Syafi’i mabit di Mina hukumnya sunat.

Melempar jumrah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: Niat, Imamiyah mengaharuskannya, sampainya batu harus dilakukan (dengan cara) dilempar menurut Imamiyah, Syafi’i. Tetapi menurut Hambali  dan Hanafi boleh. Menurut semua ulama mazhab selain Abu Hanifah. Ia berpendapat: Setiap sesuatu yang sejenis dari tanah dibolehkan, baik tembikar, lumpur maupun batu. Batu-batu yang dilempar belum pernah dipakai untuk melempar, hal ini dijelaskan oleh Hambali.

Imamiyah, batu yang akan dilempar itu disunnahkan batu yang sebesar ujung jari, dan warnanya adalah khirsy. Mazhab yang lain disunnahkan sebesar biji kacang. Imamiyah, bagi orang yang haji disunnahkan untuk mengerjakan semua perbuatan-perbuatan haji itu dengan menghadap kiblat.



  1. Saran
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan kita tentang perbedaan pendapat waktu melempar jumrah dalam haji. Walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang waktu melempar jumrah dalam haji oleh mazhab fiqh, tentu kita tidak boleh saling menjatuhkan antara mazhab yang satu dengan mazhab yang lainnya dan menganggap aliran mazhab yang kita ikuti lebih benar. Karena Imam mazhab tersebut tentu mempunyai dalil atau dasar hukum untuk memperkuat pendapatnya.





DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M, A, 2000, Perbandingan Mazhab Fiqh, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Mughniyah, M, J, 2002, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta : PT Lentera Basritama.



[1] M. Ali Hasan,  2000, Perbandingan Mazhab Fiqh, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, h. 119
[2] Ibid, h. 120
[3] Muhammad Jawad Mughniyah, 2002, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta : PT Lentera Basritama, h. 274
[4] M. Ali Hasan, op.cit, h. 121
[5] Ibid.
[6] Ibid, h. 121-122
[7] Ibid, h. 122-123
[8] Muhammad Jawad Mughniyah, op. Cit, h, 275
[9] M. Ali Hasan, op.cit, h. 124-125
[10] Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit, h. 275-276
[11] Ibid. h. 276

0 komentar: