TAFSIR I (AKIDAH, IBADAH, AKHLAK) tentang PERSOALAN
GHAIB
Oleh : Witry Yulia
STAI-YDI LUBUK SIKAPING
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil
‘alamin, puji serta syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
taufik dan hidayah-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini.
Hanya kepada-Nya kami bermohon pertolongan dan kemudahan segala urusan.
Allahumma shalli’alaMuhammad salawat serta salam semoga tetap dicurahkan kepada
junjungan dan suri teladan kita Nabi Muhammmad SAW yang telah membimbing kita
pada jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Pemakalah
mencoba untuk menyusun makalah tentang Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Agama
Islam Pada Anak Usia Remaja. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dosen pembimbing, pustakawan dan pustakawati STAI Lubuk Sikaping
dan rekan-rekan yang terlibat dalam pembuatan makalah ini. Kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca agar penyusunan dan penyajian makalah selanjutnya
lebih baik lagi.
Lubuk
Sikaping, 11 Desember 2012
Penulis,
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epistemologi adalah cara yang digunakan oleh para pemuka
aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka
menafsirkan Al-Quran. Kritikan terhadap aspek ini umpamanya dikemukakan oleh
Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean. Pemaksaan gagasan asing ke
dalam Al-Quran juga merupakan gejala
yang mewabah.
Aliran kalam yang banyak mendapat
sorotan Adz-Dzahabi adalah Khawarij, Mu’tazilah, dan Syi’ah yang
dipandang banyak menakwilkan ayat-ayat Al-Quran secara tidak proporsional dan
menyimpangkan makna teks-teks Al-Quran
dari makna sebenarnya dengan tujuan untuk mendukung prinsip-prinsip yang
diyakininya.
Fazlur Rahman berupaya
mereformulasikan lagi hakikat ilmu kalam. Secara pasti teologi Islam merupakan
usaha intelektual yang setia dengan isi yang ada dalam Al-Quran. Teologi harus
memiliki kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan
agama. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern, islam harus mampu
meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan,
ketidakadilan, hak asasi manusia, dan sebagainya). Kritikan yang dialamatkan
pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam
menyingkap hakikat kebenaran.
B.
Tujuan
1. Untuk mengetahui aspek epistemologi ilmu kalam.
2. Untuk mengetahui aspek ontologi ilmu kalam.
3. Untuk mengetahui aspek aksiologi ilmu kalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aspek Epistemologi Ilmu Kalam
Epistemologi adalah cara yang digunakan oleh para pemuka
aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka
menafsirkan Al-Quran. Kritikan terhadap aspek ini umpamanya dikemukakan oleh
Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean. Pemaksaan gagasan asing ke
dalam Al-Quran juga merupakan gejala yang
mewabah. Contoh penafsiran semacam ini, terlihat jelas dalam pandangan golongan Asy’ariyah mengenai keabsahan
Al-Quran. Sebagaimana telah diketahui, pandangan mereka tentang ini merupakan
tanggapan atas pandangan golongan Mu’tazilah.
Penekanan Mu’tazilah pada keesaan
Tuhan yang membuat mereka digelari ahl
al-adl al-tauhid telah menyebabkan mereka menolak keabadian Al-Quran
sebagaimana yang telah diyakini golongan Ahlussunnah.Menurut Mu’tazilah,Al-Quran
adalah makhluk (ciptaan). Jika tidak demikian, tentulah ada yang abadi
selain Allah dan ini bertentangan dengan keesaan Allah.[1]
Golongan Asy’ariyah percaya bahwa Al-Quran atau
kalam Allah itu abadi (Qadim). Untuk menjelaskan hal ini, mereka merujuk firman
Allah berikut ini :
Artinya: Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
"Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q. S. Yasin ayat 82).
Menurut golongan Asy’ariyah,mereka juga
berpedoman pada firman Allah berikut ini:
Artrinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya
langit dan bumi dengan iradat-Nya. kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali
panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur). Q.S.Ar-Rum [30]:25
Ayat-ayat yang dirujuk tersebut, menurut
Adnan dan Rizal, sebenarnya dimaksudkan untuk menegaskan kemahakuasaan Tuhan
sebagai Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Namun, ayat-ayat ini telah
dibelokkan maknanya oleh golongan Asy’ariyah untuk mendukung gagasan
keabadian Al-Quran, sebagai tanggapan terhadap pandangan kalangan Mu’tazilah. [2]
Adnan dan Rizal melihat bahwa
penafsiran kalangan Asy’ariyah tersebut pada kenyataannya merupakan tanggapan
terhadap kebutuhan sejarah, yakni untuk membela sudut pandang golongan Ahlussunnah. Penafsiran
tersebut tidaklah dicuatkan dari Al-Quran tetapi lebih merupakan pemaksaan
gagasan-gagasan asing ke dalamnya. Itulah sebabnya, ayat-ayat yang dirujuk
untuk membela pandangan mereka
dilepaskan dari konteks sastranya dan konteks kesejarahan yang bertalian
dengannya. Contoh mengenai gagasan asing
yang telah dipaksakan ke dalam
Al-Quran dapat dilihat dalam
paparan mengenai kebangkitan manusia di
akhirat. Di kalangan Ahlussunnah, terdapat keyakinan yang kuat mengenai kebangkitan fisik di akhirat. Keyakinan semacam ini yang diperoleh lewat pemahaman harfiah akan
ayat-ayat ukhrawi Al-Quran tentu saja sulit diterima kaum filosof.[3]
Kritikan senada dikemukakan oleh
Husein Adz-Dzahabi, ia melihat bahwa ada kecenderungan para pemuka aliran kalam
untuk mencocok-cocokkan Al-Quran dengan
pandangan mazhabnya. Mereka menafsirkannya
sesuai dengan jalan pikiran dan keinginannya serta menakwilkannya ayat
yang berbeda sehingga tidak tampak berlawanan dan bertentangan dengan mazhab
serta kepercayaannya. Mereka berusaha keras untuk mempertahankan dan
menyebarluaskan mazhab-mazhabnya dengan menggunakan berbagai penafsiran yang
cenderung menyimpangkan firman Allah.[4]
Aliran kalam yang banyak mendapat
sorotan Adz-Dzahabi adalah Khawarij, Mu’tazilah, dan Syi’ah yang
dipandang banyak menakwilkan ayat-ayat Al-Quran secara tidak proporsional dan
menyimpangkan makna teks-teks Al-Quran
dari makna sebenarnya dengan tujuan untuk mendukung prinsip-prinsip yang
diyakininya. Contohnya adalah penafsiran tokoh-tokoh Khawarij terhadap
fiman Allah:
Artinya: Barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. Q.SMaidah[5]:44.
Tanpa menyebutkan alasannya, Adz-Dzahabi
menjelaskan para pemuka Khawarij berusaha menafsirkan ayat diatas sesuai
dengan pendapat mazhabnya, yakni bahwa
setiap orang yang melakukan dosa besar
berarti telah menganbil keputusan hukum dengan hukuman selain yang diturunkan
Allah.[5]
Contoh lainnya adalah penafsiran
tokoh-tokoh Mu’tazilah terhadap firman Allah berikut ini :
Artinya:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka Melihat. (Q.S.Al-Qiyamah[75]:22-23).
Mereka menakwilkan ayat ini
sesuai dengan pendapatnya,yakni ketidakmungkinan Allah melihat di akhirat kelak
.Dengan penakwilannya itu, Adz-Dzahabi melihat bahwa mereka berusaha
menyimpangkan kata nadhira dari arti yang sebenarnya, yakni melihat
dengan kepala sendiri. [6]
Contoh lain yang dilakukan
kelompok Mu’tazilah dan dianggap menyimpang oleh Adz-Dzahabi adalah
penafsiran terhadap firman Allah :
Artinya
: ..... dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Q.S.An-Nisa[4]:164).
Agar tidak bertentangan dengan
pendapatnya tentang sifat Allah Al-Kalam, mereka menjelaskan bahwa kata kallama
berasal dari Al-kalim yang berarti luka (al-jarh) sehingga makna
ayat tersebut diatas adalah Allah melukai Musa dengan kuku-kuku ujian dan
cobaan hidup. Pendapat ini sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi, erdapat
dalam Tafsir Al-Kasysyaf karya Zamakhsyari jus I , halaman 397-398.[7]
Adapun contoh penyimpangan yang
dilakukan Syi’ah dan dipandang menyimpang oleh Adz-Dzahabi adalah apa
yang dilakukan Hasan Al-Askari ketika menafsirkan firman Allah:
Artinya
: Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(Q.S.Al-Baqarah[2]:163).
Al-Askari mengatakan bahwa kata ar-rahman
berarti Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dari kalangan (syi’ah)
keluarga Muhammad SAW. Allah memperkenankan mereka untuk melakukan taqiyah.
Mereka memperlihatkan kesetiaannya kepada para kekasih Allah dan siap melawan
musuh-musuh-Nya bila mereka mampu melakukannya atau bersikap diam bila mereka
lemah.[8]
B. Aspek Ontologi Ilmu Kalam
Harus diakui bahwa diskursus
aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan keTuhanan
dan yang berkaitan dengannya yang terkesan “mengawang-awang” dan jauh dari
persoalan kehidupan umat manusia. Kalaupun tetap dipertahankan bahwa diskursus
aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, persoalan itu adalah
sesuatu yang terjadi pada masa lampau yang berbeda dengan
persoalan-persoalan kehidupan manusia
masa kini. Dengan demikian, ilmu kalam tidak dapat diandalkan untuk memecahkan
persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini.[9]
Fazlur Rahman berupaya mereformulasikan
lagi hakikat ilmu kalam. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual
yang setia dengan isi yang ada dalam Al-Quran. Teologi harus memiliki kegunaan
dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Dalam
perspektif perkembangan masyarakat modern, Islam harus mampu meletakkan
landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak
asasi manusia, dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang
memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialog, sekaligus menunjukkan
jalan keluar terhadap berbagai persoalan kemanusiaan.[10]
Teologi Islam dan kalam yang
hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan
pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialog dengan masa
lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Teologi Islam kontenporer tidak
dapat tidak harus memahami perkembangan pemikiran manusia kontenporer yang
diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh harus ilmu pengetahuan dan
teknologi. Diantara diskursus ilmu kalam yang menjadi bahan sorotan tajam para
pemikir kontenporer adalah kontruksi ilmu kalam Asy’ariyah, yaitu
konsepsi mereka tentang hukum kausalitas. Sebagaimana diketahui oleh para
peminat studi ilmu kalam Asy’ariyah, yang kemudian dikokohkan oleh
Al-Ghazali bahwa kausalitas tidak cocok dengan realita tentang keilmuan yang
berkembang dewasa ini. Pemikiran kausalitas kalam Asy’ariyah tidak
kondusif unuk menumbuhkan etos kerja keilmuan.[11]
C.
Aspek Aksiologi Ilmu Kalam
Kritikan yang dialamatkan pada
aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam
menyingkap hakikat kebenaran. Al-Ghazali, sebagai seorang tokoh ahli kalam
klasik, dapat disebut sebagai cendekiawan muslim yang mempermasalahkan hal ini.
Ia tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menggaris bawahi
keterbatasan-keterbatasan ilmu ini sehingga berkesimpulan bahwa ilmu ini tidak
dapat mengantarkan manusia untuk mendekati Tuhan. Hanya kehidupan sufilah yang
dapat mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhan. Mungkin karena diantaranya
alasan ini pula Ibn Taimiyah dengan penuh semangat menganjurkan kaum muslimin
untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya orang menjauhi singa.[12]
Muhammad Abduh mempunyai kesan
yang hampir sama dengan para pendahulunya. Dengan mengambil sebuah Hadist. ”tafakkaru
fi khalqillah.........”, ia beranggapan bahwa objek penelaahan dan
penelitian akal pikiran manusia, pada dasarnya adalah sifat-sifat dasar dari
segala macam fenomena yang ditemui dalam kehidupannya. Dari penelitian
sifat-sifat dasar tersebut, akan ditemukan hukum sebab-akibat yang
melatarbelakanginya. Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam diatas,Ahmad
Hanafi melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional. Teologi
bukan hanya ilmu tentang Tuhan semata, Tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang
analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang
berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara garis besar, titik kelemahan ilmu kalam yang
menjadi sorotan para pengkritiknya berputar pada tiga aspek yaitu: aspek
epistemologi ilmu kalam, aspek ontologi ilmu kalam, aspek aksiologi ilmu kalam.
Epistemologi adalah cara yang digunakan oleh para pemuka
aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka
menafsirkan Al-Quran. Harus diakui bahwa
diskursus aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan
keTuhanan dan yang berkaitan dengannya yang terkesan “mengawang-awang” dan jauh
dari persoalan kehidupan umat manusia. Kalaupun tetap dipertahankan bahwa
diskursus aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, persoalan
itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau yang berbeda dengan
persoalan-persoalan kehidupan manusia
masa kini. Kritikan yang dialamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut
pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran.
B.
Saran
Semoga dengan tersusunya makalah ini dapat memberikan
gambaran dan menambah wawasan kita tentang studi kritis terhadap pemikiran
aliran-aliran kalam. Dari pembahasan materi ini kami mengalami beberapa kendala
dalam penyusunan makalah. Oleh karena itu kami membutuhkan saran dari pembaca
untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Husein, A, M., 1978, Penyimpangan-penyimpangan
dalam Penafsiran Al-Quran, Jakarta
:Rajawali Press.
Rozak, A. Anwar, R., 2000, Ilmu Kalam,
Bandung : Pustaka Setia.
[4]Muhammad Husein Adz-Dzahabi. 1978. Penyimpangan-penyimpangan dalam
Penafsiran Al-Quran. Jakarta :Rajawali Press.H.53
0 komentar:
Posting Komentar