BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 19 September 2013

TAFSIR I (AKIDAH, IBADAH, AKHLAK) tentang PERSOALAN GHAIB



TAFSIR I (AKIDAH, IBADAH, AKHLAK) tentang PERSOALAN GHAIB
 
Oleh : Witry Yulia
STAI-YDI LUBUK SIKAPING


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji serta syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini. Hanya kepada-Nya kami bermohon pertolongan dan kemudahan segala urusan. Allahumma shalli’alaMuhammad salawat serta salam semoga tetap dicurahkan kepada junjungan dan suri teladan kita Nabi Muhammmad SAW yang telah membimbing kita pada jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Pemakalah mencoba untuk menyusun makalah tentang Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Agama Islam Pada Anak Usia Remaja. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing, pustakawan dan pustakawati STAI Lubuk Sikaping dan rekan-rekan yang terlibat dalam pembuatan makalah ini. Kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar penyusunan dan penyajian makalah selanjutnya lebih baik lagi.       

Lubuk Sikaping, 11 Desember 2012


Penulis,




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Epistemologi adalah cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Quran. Kritikan terhadap aspek ini umpamanya dikemukakan oleh Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean. Pemaksaan gagasan asing ke dalam  Al-Quran juga merupakan gejala yang mewabah.
Aliran kalam yang banyak mendapat sorotan Adz-Dzahabi adalah Khawarij, Mu’tazilah, dan Syi’ah yang dipandang banyak menakwilkan ayat-ayat Al-Quran secara tidak proporsional dan menyimpangkan makna  teks-teks Al-Quran dari makna sebenarnya dengan tujuan untuk mendukung prinsip-prinsip yang diyakininya.
Fazlur Rahman berupaya mereformulasikan lagi hakikat ilmu kalam. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang setia dengan isi yang ada dalam Al-Quran. Teologi harus memiliki kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern, islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, dan sebagainya). Kritikan yang dialamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran.
B.       Tujuan
1.    Untuk mengetahui aspek epistemologi ilmu kalam.
2.    Untuk mengetahui aspek ontologi ilmu kalam.
3.    Untuk mengetahui aspek aksiologi ilmu kalam.






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Aspek Epistemologi Ilmu Kalam
Epistemologi adalah cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Quran. Kritikan terhadap aspek ini umpamanya dikemukakan oleh Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean. Pemaksaan gagasan asing ke dalam  Al-Quran juga merupakan gejala yang mewabah. Contoh penafsiran semacam ini, terlihat jelas dalam pandangan  golongan Asy’ariyah mengenai keabsahan Al-Quran. Sebagaimana telah diketahui, pandangan mereka tentang ini merupakan tanggapan atas  pandangan golongan Mu’tazilah. Penekanan Mu’tazilah  pada keesaan Tuhan  yang membuat mereka digelari ahl al-adl al-tauhid telah menyebabkan mereka menolak keabadian Al-Quran sebagaimana yang telah diyakini golongan Ahlussunnah.Menurut Mu’tazilah,Al-Quran adalah makhluk (ciptaan). Jika tidak demikian, tentulah ada yang abadi selain Allah dan ini bertentangan dengan keesaan Allah.[1]
Golongan Asy’ariyah percaya bahwa Al-Quran atau kalam Allah itu abadi (Qadim). Untuk menjelaskan hal ini, mereka merujuk firman Allah berikut ini :
Artinya: Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q. S. Yasin ayat 82).
 Menurut golongan Asy’ariyah,mereka juga berpedoman pada firman Allah berikut ini:
Artrinya:  dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur). Q.S.Ar-Rum [30]:25
Ayat-ayat yang dirujuk tersebut, menurut Adnan dan Rizal, sebenarnya dimaksudkan untuk menegaskan kemahakuasaan Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Namun, ayat-ayat ini telah dibelokkan maknanya oleh golongan Asy’ariyah untuk mendukung gagasan keabadian Al-Quran, sebagai tanggapan terhadap pandangan kalangan Mu’tazilah. [2]
Adnan dan Rizal melihat bahwa penafsiran kalangan Asy’ariyah tersebut pada kenyataannya merupakan tanggapan terhadap kebutuhan sejarah, yakni untuk membela sudut pandang  golongan Ahlussunnah. Penafsiran tersebut tidaklah dicuatkan dari Al-Quran tetapi lebih merupakan pemaksaan gagasan-gagasan asing ke dalamnya. Itulah sebabnya, ayat-ayat yang dirujuk untuk membela pandangan mereka  dilepaskan dari konteks sastranya dan konteks kesejarahan yang bertalian dengannya. Contoh mengenai gagasan asing  yang telah dipaksakan  ke dalam Al-Quran  dapat dilihat dalam paparan  mengenai kebangkitan manusia di akhirat. Di kalangan Ahlussunnah, terdapat keyakinan yang  kuat mengenai kebangkitan  fisik di akhirat. Keyakinan semacam ini  yang diperoleh lewat pemahaman harfiah akan ayat-ayat ukhrawi Al-Quran tentu saja sulit diterima  kaum filosof.[3]
Kritikan senada dikemukakan oleh Husein Adz-Dzahabi, ia melihat bahwa ada kecenderungan para pemuka aliran kalam untuk mencocok-cocokkan Al-Quran  dengan pandangan mazhabnya. Mereka menafsirkannya  sesuai dengan jalan pikiran dan keinginannya serta menakwilkannya ayat yang berbeda sehingga tidak tampak berlawanan dan bertentangan dengan mazhab serta kepercayaannya. Mereka berusaha keras untuk mempertahankan dan menyebarluaskan mazhab-mazhabnya dengan menggunakan berbagai penafsiran yang cenderung menyimpangkan firman Allah.[4]
Aliran kalam yang banyak mendapat sorotan Adz-Dzahabi adalah Khawarij, Mu’tazilah, dan Syi’ah yang dipandang banyak menakwilkan ayat-ayat Al-Quran secara tidak proporsional dan menyimpangkan makna  teks-teks Al-Quran dari makna sebenarnya dengan tujuan untuk mendukung prinsip-prinsip yang diyakininya. Contohnya adalah penafsiran tokoh-tokoh Khawarij terhadap fiman Allah:
Artinya: Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Q.SMaidah[5]:44.
Tanpa menyebutkan alasannya, Adz-Dzahabi menjelaskan para pemuka Khawarij berusaha menafsirkan ayat diatas sesuai dengan  pendapat mazhabnya, yakni bahwa setiap orang yang melakukan  dosa besar berarti telah menganbil keputusan hukum dengan hukuman selain yang diturunkan Allah.[5]
Contoh lainnya adalah penafsiran tokoh-tokoh Mu’tazilah terhadap firman Allah berikut ini :
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (Q.S.Al-Qiyamah[75]:22-23).
Mereka menakwilkan ayat ini sesuai dengan pendapatnya,yakni ketidakmungkinan Allah melihat di akhirat kelak .Dengan penakwilannya itu, Adz-Dzahabi melihat bahwa mereka berusaha menyimpangkan kata nadhira dari arti yang sebenarnya, yakni melihat dengan kepala sendiri. [6]
Contoh lain yang dilakukan kelompok Mu’tazilah dan dianggap menyimpang oleh Adz-Dzahabi adalah penafsiran terhadap firman Allah :
Artinya : ..... dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Q.S.An-Nisa[4]:164).
Agar tidak bertentangan dengan pendapatnya tentang sifat Allah Al-Kalam, mereka menjelaskan bahwa kata kallama berasal dari Al-kalim yang berarti luka (al-jarh) sehingga makna ayat tersebut diatas adalah Allah melukai Musa dengan kuku-kuku ujian dan cobaan hidup. Pendapat ini sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi, erdapat dalam Tafsir Al-Kasysyaf karya Zamakhsyari jus I , halaman 397-398.[7]
Adapun contoh penyimpangan yang dilakukan Syi’ah dan dipandang menyimpang oleh Adz-Dzahabi adalah apa yang dilakukan Hasan Al-Askari ketika menafsirkan firman Allah:
Artinya : Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(Q.S.Al-Baqarah[2]:163).
Al-Askari mengatakan bahwa kata ar-rahman berarti Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dari kalangan (syi’ah) keluarga Muhammad SAW. Allah memperkenankan mereka untuk melakukan taqiyah. Mereka memperlihatkan kesetiaannya kepada para kekasih Allah dan siap melawan musuh-musuh-Nya bila mereka mampu melakukannya atau bersikap diam bila mereka lemah.[8]

B.       Aspek Ontologi Ilmu Kalam
Harus diakui bahwa diskursus aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan keTuhanan dan yang berkaitan dengannya yang terkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan umat manusia. Kalaupun tetap dipertahankan bahwa diskursus aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, persoalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau yang berbeda dengan persoalan-persoalan  kehidupan manusia masa kini. Dengan demikian, ilmu kalam tidak dapat diandalkan untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini.[9]
Fazlur Rahman berupaya mereformulasikan lagi hakikat ilmu kalam. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang setia dengan isi yang ada dalam Al-Quran. Teologi harus memiliki kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialog, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan kemanusiaan.[10]
Teologi Islam dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialog dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Teologi Islam kontenporer tidak dapat tidak harus memahami perkembangan pemikiran manusia kontenporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh harus ilmu pengetahuan dan teknologi. Diantara diskursus ilmu kalam yang menjadi bahan sorotan tajam para pemikir kontenporer adalah kontruksi ilmu kalam Asy’ariyah, yaitu konsepsi mereka tentang hukum kausalitas. Sebagaimana diketahui oleh para peminat studi ilmu kalam Asy’ariyah, yang kemudian dikokohkan oleh Al-Ghazali bahwa kausalitas tidak cocok dengan realita tentang keilmuan yang berkembang dewasa ini. Pemikiran kausalitas kalam Asy’ariyah tidak kondusif unuk menumbuhkan etos kerja keilmuan.[11]

C.      Aspek Aksiologi Ilmu Kalam
Kritikan yang dialamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran. Al-Ghazali, sebagai seorang tokoh ahli kalam klasik, dapat disebut sebagai cendekiawan muslim yang mempermasalahkan hal ini. Ia tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menggaris bawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu ini sehingga berkesimpulan bahwa ilmu ini tidak dapat mengantarkan manusia untuk mendekati Tuhan. Hanya kehidupan sufilah yang dapat mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhan. Mungkin karena diantaranya alasan ini pula Ibn Taimiyah dengan penuh semangat menganjurkan kaum muslimin untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya orang menjauhi singa.[12]
Muhammad Abduh mempunyai kesan yang hampir sama dengan para pendahulunya. Dengan mengambil sebuah Hadist. ”tafakkaru fi khalqillah.........”, ia beranggapan bahwa objek penelaahan dan penelitian akal pikiran manusia, pada dasarnya adalah sifat-sifat dasar dari segala macam fenomena yang ditemui dalam kehidupannya. Dari penelitian sifat-sifat dasar tersebut, akan ditemukan hukum sebab-akibat yang melatarbelakanginya. Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam diatas,Ahmad Hanafi melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional. Teologi bukan hanya ilmu tentang Tuhan semata, Tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman).[13]



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Secara garis besar, titik kelemahan ilmu kalam yang menjadi sorotan para pengkritiknya berputar pada tiga aspek yaitu: aspek epistemologi ilmu kalam, aspek ontologi ilmu kalam, aspek aksiologi ilmu kalam.
Epistemologi adalah cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Quran. Harus diakui bahwa diskursus aliran-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan keTuhanan dan yang berkaitan dengannya yang terkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan umat manusia. Kalaupun tetap dipertahankan bahwa diskursus aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, persoalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau yang berbeda dengan persoalan-persoalan  kehidupan manusia masa kini. Kritikan yang dialamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran.
B.       Saran
Semoga dengan tersusunya makalah ini dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan kita tentang studi kritis terhadap pemikiran aliran-aliran kalam. Dari pembahasan materi ini kami mengalami beberapa kendala dalam penyusunan makalah. Oleh karena itu kami membutuhkan saran dari pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Husein, A, M., 1978, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran, Jakarta       :Rajawali Press.

Rozak, A. Anwar, R., 2000, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia.


[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar.2000.Ilmu Kalam.Bandung : Pustaka Setia. H .199-200
 [2] Ibid.Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. H.200-201
[3] Ibid. H.201
[4]Muhammad Husein Adz-Dzahabi. 1978. Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran. Jakarta :Rajawali Press.H.53
  [5] Ibid.H.80
  [6] Op Cit. Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. H. 202-203
  [7] Ibid. H. 203
  [8] Ibid. H. 203-204
  [9] Ibid. H. 206
  [10] Ibid. H. 206-207
  [11] Ibid. H. 207-208
    [12] Ibid. H. 208
    [13] Ibid. H. 208-209

0 komentar: